Senin, 15 Juni 2015

Daun




Daun kecil di sebuah tangkai, tangkai kecil di sebuah pohon yang besar. Adakah dia hidup? Bagaimana dia hidup? Adakah kita tahu? Mungkin kita tak peduli. Aku mencoba menuliskan seuntai cerita tentangnya. Tentang daun itu. Tentang daun-daun tertiup angin. Daun yang mengembara, menggabarkan cerita hidup makhluk kecil untuk melukis dunia, ya dunianya.. dan mungkin dunia kita juga.


Kala pohon itu sudah semakin besar dan mulai menjadi tempat berteduh banyak orang, si daun kecil tampak gembira. Di tempatnya yang cukup tinggi, yaitu di antara ranting-ranting pohon, ia melihat banyak orang datang dan pergi. Ia juga melihat burung, awan, langit, tanah, dan kursi. Ia merasa ada banyak hal yang dapat ia lakukan. Ada banyak hal yang harus ia pelajari. Namun, ia teringat akan dirinya yang hanya sebuah daun, dan ia pun melupakan semua keinginannya itu.

Begitulah setiap hari, sambil menjalankan tugasnya sebagai sebuah daun, yaitu bernafas untuk sang pohon, dan meneduhkan setiap orang yang berteduh, dan juga jadi tempat peristirahatan untuk burung-burung, ia tidak henti-hentinya mengamati dan menikmati dunia. Hal yang paling ia senangi adalah tiupan angin. Kala angin berhembus menyentuh seluruh tubuhnya, seolah mengajaknya untuk sejenak merenungi, berenang dan tenggelam dalam hembusan sang angin.

Terik sinar matahari tak membuat lemah, sekalipun kadang ia letih. Dinginnya malam tak membuat sepi, karena ia tahu ada bintang-bintang dan Bulan di tempat yang jauh selalu menemani.
Si daun kecil, lugu dan bisu. Tapi bukan berarti dia tak melakukan apa-apa.
Ia melihat, mendengar, merasakan.
Ia bekerja, ia belajar, dan ia mencintai hidup juga.
Ia mungkin adalah sisi terlemah dan terkuat kita. Mengapa kita tak coba resapi?

  1. Jatuh cinta
Musim panen sudah tiba. Panen bagi manusia, panen juga bagi seluruh penghuni alam semesta. Panen juga bagi burung-burung. Si daun melihat ada begitu banyak burung bertebangan, mereka begitu indah. Kadang mereka melintasi si daun dan menyapanya. Namun, ternyata ada satu burung yang tak hanya menyapanya saja. Burung itu hinggap di antara ranting tempat si daun itu berada. Burung itu tersenyum dengan senyum yang menawan dan mata yang sangat indah.

Pertama kali melihatnya si daun pun terpesona. Betapa indah dan cantiknya si burung di mata si daun. Begitulah mereka, makhluk kecil di dunia yang besar.. mereka saling sapa hanya dalam satu musim saja. Perjumpaan yang tak lama itu telah menggoreskan cinta di hati si daun. Setiap hari daun berdiri di tempatnya dengan penuh harap bahwa sang burung akan kembali. Tak pernah ia lupa betapa indahnya mata sang burung. Mungkin diantara semua burung, dia lah burung yang paling indah. Takkan pernah terlupa, takkan pernah terhapus.

Apa mau dikata, harap tinggal harap, rupanya tak pernah ia jumpa lagi sang burung yang indah itu. Tak pernah pula si daun nyatakan cinta pada sang burung. Perjumpaan yang begitu cepat dan cinta yang begitu lambat untuk disadari.
Kini mulailah daun beranjak dewasa, seiring berjalannya waktu, dari hari-kehari ia sering berjumpa dengan berbagai macam makhluk, termasuk burung-burung yang indah. Namun, tak juga ia lupa pada burung yang ia cinta. Di hatinya selalu tergambar mata indah sang burung. si Daun hanya bertanya, “Dimanakah dirimu?” Berharap suatu saat nanti bisa berjumpa kembali. Tak ada satu burung pun yang dapat menggantikan keelokan burung yang ia cinta.

Hidup begitu tak terduga, saat musim kemarau tiba, semua tanah menjadi gersang, dan semua bunga menjadi layu. Semua hewan kelaparan dan semua manusia pun menjadi semakin egois. Manusia-manusia itu menangkap segala yang bisa mereka tangkap, dan lagi mereka memperebutkan semuanya itu, seolah tidak habis-habis nya mereka merasa puas.

Dari kejauhan daun melihat lagi cintanya. Ya ia melihat burung yang dicintainya dari jauh. Namun sayang, ia melihat burung yang indah itu dijadikan mainan. Burung itu dimandikan, diberi makan dan diberikan sangkar. Burung itu pun sangat menikmatinya, tapi entah mengapa dari jauh daun begitu merasa sedih.
Ternyata benar, tibalah dimana manusia-manusia itu mulai bosan. Mereka menyiksa burung itu hingga terluka. Hingga tak lagi berbekas elok dan indahnya si burung itu dulu. Kini burung itu hanyalah burung yang terluka, karena sudah tak lagi berharga maka manusia-manusia itu pun melemparkannya.

Betapa hancur dan sedih hati si burung. Ia pun bergegas terbang lari menjauhi pandangan daun. Ia tak tahu bahwa selama ini daun mengawasinya dari jauh. Ia tak pernah tahu bahwa dalam deritanya, si daun pun menderita. Ia tak tahu bahwa dalam tawanya ketika ia dalam sangkar daun sudah bersedih terlebih dahulu. Terlebih ia tidak tahu, bahwa ternyata jauh lebih indah cinta daun padanya dari pada keelokannya dulu.
Begitulah burung itu pergi dengan luka pada sayap-sayapnya. Daun hanya melihatnya dari kejauhan, tak bisa ia berkata-kata. Tak bisa juga ia menggapai sang burung. namun ia tetap cinta. Baginya, sekalipun sang burung telah berganti rupa, tetaplah ia menjadi yang terindah. Dalam pandangannya tetap sorot sang burung itu lah yang paling indah.

Ia berharap suatu saat kan berjumpa lagi dengannya, dengan burung yang selalu ia cinta. Cintai yang selalu mengingatkannya pada sebuah keindahan. Cinta yang tak harus dia miliki, cukup dia mengerti-cukup dia alami..
Ia berharap suatu saat nanti dapat lebih merasakan apa yang dirasakan sang burung, hanya untuk sekadar berbagi. Berbagi canda dan tawa, berbagi luka dan derita, ya! Berbagi cerita! Tak satu pun ia ingin miliki. Ia hanya ingin menjadi cerita.
Daun itu pun gugur, melepaskan diri dari rantingnya, tertiup angin. pergi jauh meninggalkan pohonnya. Entah kemana ia akan pergi.
"Kemanapun angin berhembus membawaku, semoga kita kan berjumpa kembali. semoga kita dapat berbagi cerita kembali." kata daun itu bergumam dalam hatinya..
*selanjutnya : - daun dan para peneliti ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar