Senin, 15 Juni 2015

Identitas Kemerdekaan Kita…


Perjalanan saya mengatar teman dari desa, kabupaten Bandung menuju kota Bandung kali ini menginspirasi saya untuk berpikir dan menyelami identitas kemerdekaan kita. Yang mengherankan saya, ketika saya melalui jalanan di kabupaten jalan tampak macet dan padat oleh karena hampir seluruh masyarat desa turun ke jalan untuk merayakan HUT RI yang 69 ini. Ya namanya juga di desa, semua perlengkapan perayaan itu dibuat seadanya , dari barang-barang yang barangkali sudah jadi rongsok, kemudian disulap oleh kreatifitas jadilah pernak-pernik bernuansa perjuangan kemerdekaan. Dari mulai gerobak yang disulap jadi meriam, becak jadi tank, bambu jadi senapan, juga ada orang-orang yang jadi actor dadakan dengan acting mereka yang seadanya. Ada yang jadi prajurit, petani, orang pincang yang masih berjuang untuk kemerdekaan, orang-orang yang disiksa oleh penjajah namun tetap gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan dan lain seterusnya..

Semuanya masih tampak biasa, karena memang penekanan kemerdekaan kita cenderung dimaknai sebagai sebuah perjuangan melawan penjajah. Dengan kata lain kemerdekaan kita itu adalah hasil perlawanan terdahadap penjajah. Hingga ditengah barisan dan kerumunan saya melihat peragaan ibu hamil yang sedang kepayahan melahirkan dengan kondisi kritis dengan banyak labu darah bergelantungan di atas tempat tidur dorongnya. Ibu itu berjuang untuk sekuat tenaga bertahan dari kondisi kritisnya tersebut untuk melahirkan anak yang dikandungnya. “Beuh” ibu-ibu juga rupaya berjuang rupanya untuk kemerdekaan kita?” Kata saya dalam hati.

Kemerdekaan macam apa yang ibu ini perjuangkan? Bagi saya peragaan ibu yang tengah melahirkan ini mengingatkan kita pada makna kemerdekaan yang mungkin saat ini kita sering abaikan.
Di tengah maraknya isu terorisme, radikalisme agama, fanatisme suku dan lain sebagainya kita diperkenalkan dengan senjata dan kekerasan. Sosialiasi kekerasan sekarang ini sudah menjadi cerminan terhadap nilai dan pola-pola sosial masyarakat kita. Bahkan kekerasan disinonimkan dengan perjuangan! Seringkali langkah demokrasi kita pun gagal ditempuh oleh karena adanya kubu yang merasa keberatan dengan suatu keputusan, kemudian akhirnya menyebabkan terjadinya kekerasan dan kerusuhan yang akhirnya menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita kurang stabil. Ironisnya ketegasan bangsa hanya diukur dari militer dan persenjataan yang dimiliki. Ketegasan hanya diukur dari berapa banyak penjahat entahkah itu koruptor, teroris, pembunuh, penipu dll dijebloskan ke penjara. Ketegasan dan kekuatan bangsa hanya diukur dengan apa yang bangsa itu miliki secara fisik, dari apa yang nampak. Kekuatan bangsa hanya diukur apakah bangsa itu sudah punya nuklir atau belum. Pertanyaan saya, apakah kemerdekaan kita selama kurang lebih 69 tahun ini hanya sebatas itu? Dan apakah kita telah sungguh merdeka? Maksud saya, apakah iklan semacam di atas tidak membuktikan bahwa sebenarnya kita telah digiring dalam penjajahan era baru yang lebih canggih dari penjajahan kita dulu oleh Belanda dan Jepang selama 350 tahun plus 3,5 tahun?

Senjata dan Lomba itulah umumnya yang hari ini kita lihat dalam perayaan HUT RI yang ke 69 ini. Mengapa kita bersenjata? Jawabannya jelas, karena kita tengah berlomba. Tidak perlu jauh-jauh kita sebagai individu tengah berlomba untuk bertahan hidup, bertahan untuk tidak tersingkir, dan kalau ada kesempatan kenapa tidak jadi yang terbaik, yang tersukses, yang terjaya. Begitupun kita sebagai suatu bangsa tengah berlomba dengan bangsa-bangsa lain untuk membuktikan bahwa kita bisa bertahan, berjuang untuk menjadi bangsa terbaik diantara bangsa-bangsa lain. Maka kita menemukan bahwa “angkat senjata” adalah hal yang wajar dilakukan saat ini. Wajar pula bila kita mengeliminasi perserta lomba yang lain dengan senjata kita, wajar pula bisa kita angkat senjata pada siapapun yang kita rasa mengancam posisi kita.

Senjata yang dimaksud bukan senjata fisik seperti pistol dan meriam, tapi dalam cakupan yang lebih luas seperti misalnya isu politik, isu agama, propaganda, bahkan iklan dan trend zaman sekarang dapat juga dikatakan sebagai sebuah senjata yang lebih canggih dari senjata semacam pistol dan meriam. Siapa punya senjata dialah yang merdeka. Siapa yang punya senjata yang jauh lebih canggih dialah penguasa dunia. Juga sebaliknya siapa tidak bersenjata hanya akan terjajah, atau menjadi “jongos”/babunya si penjajah. Sadar atau pun tidak kita digiring pada mindset seperti ini.

Perjuangan ibu yang tengah melahirkan dalam kondisi kritis dengan labu-labu darah bergelantungan di atas tempatnya berbaring memberikan perspektif yang jauh berbeda tentang kemerdekaan. Perjuangannya memberikan perspektif lain bagaimana melihat dan menyelami kemerdekaan . Bahwa kemerdekaan sejatinya adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk memilih terus berjuang dari pada menyerah. Berjuang sekali pun dalam kondisi yang paling terpuruk dan paling kritis. Berjuang bukan untuk kepentingan dan ego diri sendiri, melainkan berjuang untuk sebuah kehidupan yang baru. Berjuang untuk sebuah cinta dan harapan. Tidak peduli seberapa keras, tak peduli seberapa sakit, tidak peduli seberapa luka dan darah yang sudah dikorbankan, seorang ibu akan terus berjuang, bukan berjuang untuk memusnaskan, bukan untuk mengeliminasi, bukan untuk membunuh, tapi berjuang untuk sebuah kehidupan bagi generasi baru. Disitulah sebuah harapan ditumpukan, disitulah cinta dan kasih sayang tumbuh menjadi pupuk yang baik untuk memulai sebuah kehidupan! Kemerdekaan itu bukan hanya “angkat senjata” hanya demi sebuah perlombaan hidup, jauh dari itu, kemerdekaan itu adalah sebuah harapan, bahwa akan ada hidup yang jauh lebih baik, jauh lebih harmonis, jauh lebih damai, jauh lebih indah. Kemerdekaan adalah sebuah cinta bahwa tak akan ada lagi tangis kelaparan dan kemiskinan, karena kita saling berbagi dan memberi, bahwa akan ada dunia dimana kita bisa hidup bersama, berdampingan, bergandengan tangan dan saling melengkapi, tanpa melihat suku, agama, warna kulit, dan apapun perbedaan diantara kita.

Karenanya kita patut mengingat, bahwa identitas kemerdekaan kita seyogyanya bukanlah oleh senjata, bukan "angkat senjata!" melainkan oleh sebuah harapan dan kasih sayang. Karenanya marilah kita jangan sia-siakan perjuangan mereka yang sudah menitipkan harapan dan kasing sayang pada kita. Marilah kita buat ibu pertiwi yang telah berjuang melahirkan kita menjadi manusia yang merdeka bangga atas harapannya.
Akhirnya saudaraku marilah kita tanamkan welas asih tanpa batas untuk negeri ini. Salam kanyaah ti sim kuring.

Bandung, 17 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar