Senin, 15 Juni 2015

"Mereka" -- Pemanggul Batu


Dalam persahabatan kami yang tak lama, kala kami mengutarakan pendapat kami masing-masing tentang hidup. Temanku selalu berkata, "Ah hidup itu berat." Ia mengehela nafas, dan meyakinkanku bahwa memang benar hidup itu berat. Tapi bagiku tidak begitu. Menurutku hidup itu bukan masalah berat atau ringan, karena hidup lebih luas dari sekadar beban. Aku berkata, "Tidak begitu kawan!" lanjutku, "Hidup itu tidak berat. Hidup itu hanya perlu waktu." Dia terdiam dan aku pun melanjutkan, "Hidup itu perlu waktu, waktu untuk melihat, mendengar, dan berbicara. Waktu untuk berjumpa dan waktu untuk berpisah. Waktu tertawa dan waktu untuk menanggis. Waktu untuk tumbuh dewasa dan waktu untuk menjadi tua. Waktu untuk belajar apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kita sebaiknya. Waktu untuk mengerti makna dari segala sesuatu yang terjadi."

Kami pun terdiam dan mulai merenungkan kata-kata kami itu. aku merenungkan mengapa dia bilang hidup itu berat. dan dia merenungankan mengapa aku mengatakan bahwa hidup itu perlu waktu.. Kami memang dua manusia yang hidup di dunia yang berbeda. Hanya sebuah pekerjaan inilah yang membuat kami merasa satu. ya, betul, pekerjaan memanggul batu ini lah yang membuat kami menjadi kawan. Memanggul batu, dan mendapatkan sedikit recehan, menukar keringat kami dengan sebungkus nasi dan beberapa uang logam sudah membuat lelah dan letih kami terganti. Begitulah keseharian kami.

Saat senja datang, kami tak lekas pergi. kami biasa melakukan percakapan seperti sekarang ini. sejenak mengungkapkan isi hati tentang apa yang kami rasakan dan apa yang kami pahami. yah, bukan untuk menalar bagaimana dunia, karena kami tahu kami bukanlah seorang cendikiawan atau pun seorang filosof. kami hanya seorang buruh. karenanya tak penting bagi kami untuk mengetahui segala sesuatu. kami hanya perlu mengerti apa yang terjadi disekitar kami dan bagaimana kami menyikapinya.

Tak terasa 1 tahun sudah aku mengenalnya sebagai seorang sahabat, sahabat yang berjuang keras untuk hidupnya, dan untuk apa yang dia yakini. Senja kali itu terasa berbeda, namun semangatnya untuk bekerja, memanggul batu masih terasa. ketika kami semua mulai berhenti dan mengusap keringat kami dengan handuk yang menggantung di leher kami, sahabatku itu tak lekas juga berhenti. aku menatapnya, ingin berkata, "Sobat berhentilah sejenak, sudah waktunya pulang, mari kita lanjutkan lagi pekerjaan ini esok hari." namun, ketika aku menatap wajahnya, mulutku terasa berat untuk berkata. aku hanya bisa terdiam melihat senyum kecil di wajahnya. seolah mengerti apa yang ingin ku katakan, sahabatku itu tersenyum dan berkata, "Sebentar, tunggulah, tinggal sedikit lagi. aku harus mendapat lebih banyak uang logam, karena adikku hari ini ulang tahun. aku ingin memberikan sesuatu untuknya."

Mendengar ucapannya itu, seolah aku mengerti apa maksudnya ia berkata bahwa "hidup itu berat." sekalipun samar, pengertian itu masuk melalui sanubariku, dan mulai mengubah cara pandangku. tak sempat aku berpikir panjang lagi, kulihat sahabatku terengah kelelahan, diantara turunan licin ia bertahan memanggul batu. Malang memang, kakinya sudah tak sanggup lagi menahan beban itu, ia tergelincir dan kepalanya terbentuk bebatuan. tak sempat aku menangkapnya karena jarak diantara kami cukup jauh. ia tergeletak, aku berlari menyongsongnya, kami yang ada di tempat itu berteriak dan menghampirinya. namun senyum kecil kami dapati dari wajah yang berlumuran darah.

"Aku sudah selesai." "Sobat, tolong ambilkan upahku hari ini, tolong belikankan pensil dan beberapa lembar kertas. dan berikanlah pada adikku. sampaikanlah, bahwa mulai saat ini dia bisa menggambar apapun yang mau dia gambar. aku kakaknya akan selalu menyayanginya." mendengar semua itu, batinku berteriak, mendorong air mata membanjiri wajahku yang lusuh. kami berupaya sekuat tenaga untuk membawanya, namun sahabatku itu memengang tanganku seolah pertanda bahwa semua akan sia-sia. seolah apa yang dikatakannya adalah pesan terakhirnya.

Tak lama setelah ia berkata-kata, ia melihat ke langit. dengan sisa nafas yang ada padanya, ia berkata, "mungkin kau benar, hidup bukanlah masalah berat atau ringan, tapi hidup adalah masalah waktu. kini waktu tak lagi ada padaku, dan aku pun harus berlalu." begitulah ia meninggalkan dunia, tepat di depan mataku.. dan beban yang ada padanya, seolah menimpa pelupuk hatiku.. mataku tertutup dan seolah aku melihat segalanya..

melihat masa lalunya yang suram dan muram.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar