
Jika
lolondokan hanya
dipamahi sebagai sebuah tindakan pragmatis saja, tidak salah jika kita
berasumsi jika masyarakat Sunda pada umumnya adalah masyarakat yang
pasif, suka dengan status quo, dan masyarakat yang suka cari aman.
Hal ini jelas tergambar dalam pola masyarakat Sunda yang tidak suka
menjadi minoritas dan berlindung pada
payung mayoritas. Contohnya,
masuknya Islam sebagai agama negara dan agama mayoritas sejak
ekspansi kerajaan-kerajaan Islam ke tanah Pasundan menyebabkan
masyarakat Sunda dengan mudah menerima Islam sebagai agamanya, padahal kalau ditelusuri
masuknya masyarakat Sunda kala itu menjadi Islam (secara politis pada umumnya) tidak lebih
dari tindakan pragmatis-politis untuk cari aman. Sementara di dalamnya
keyakinan dan paham mereka tidak berubah, mereka
tetaplah Sunda hanya sekarang berbajukan agama.
Menurut
salah seorang penghayat Sunda, Daud Bin Dahlan (alm) menegaskan bahwa, “Segala
sesuatu bisa diterima oleh orang Sunda, selama itu mengandung
manfaat, selama itu memiliki guna, namun belum tentu (tidak sama
sekali) menjadi darah dan daging, melainkan hanya menjadi baju (alat
pelindung) yang selama diperlukan bisa dipakai, kalau sudah tidak
diperlukan bisa dilepaskan.” Menurut Daud Bin Dahlan (alm)
penyempitan makna ini didasarkan pada pengalaman historis yang
panjang, dimana orang Sunda mengalami kekecewasaan historis, atau
bisa dikatakan sebagai trauma historis. Trauma historis yang dimaksud
adalah jatuhnya kerajaan-kerajaan Sunda secara
berkali-kali pada tangan tirani kala itu, di mulai dari perang
saudara, ekspansi dari kerajaan-kerajaan Hindu
yang berdekatan dengan kerajaan Sunda, ekspansi dari
kerajaan-kerajaan Islam, hingga munculnya jajahan dari negara Eropa
seperti Potugis dan Belanda. Trauma
historis ini mendatangkan
kejenuhan hingga membawa pada penyimpangan terhadap falsafah Sunda.
Jika
lolondokan hanya
dipahami sebagai upaya untuk cari aman, tentu sangat pragmatis
sekali, hanya melulu berfokus pada keuntungan diri, tentu saja hal
ini berlawanan dengan ciri manusia itu sendiri yang dipahami dalam filsafat Sunda. Salah satu ciri itu
adalah (1) welas asih [2.
tatakrama (etika berprilaku), 3. Undak-usuk (etika berbahasa), 4.
Budi daya budi basa (penghatayatan dan pemaknaan terhadap sebuah
pekerjaan dan bahasa) , 5. Wiwaha Yuda Na Raga (“Ngaji Badan”
membaca dan memahami sebuah tatanan [ekosistem/tubuh] secara utuh].
Di dalam welas asih manusia tidak bisa hanya memikirkan dirinya
sendiri. Welas asih adalah penghubung antara setiap pribadi dengan
alam di mana ia berada. Hilangnya welas asih dalam diri manusia akan
menyebabkan manusia itu tidak menjadi manusia, yang akhirnya tidak
akan mewujudkan suatu bangsa, atau akan meruntuhkan suatu bangsa.
Dimana bangsa memiliki 5 ciri
(1. Rupa (wajah, terkandung di dalamnya arah dan pandangan), 2. Basa
(bahasa), 3. Adat (tradisi) 4. Aksara (tulisan), 5. Kebudayaan). Maka
jelas jika lolodokan hanya dipahami sebagai tindakan pragmatis saja
ini akan meruntuhkan isi dari antropologi dan bahkan filsafat dan
manusia sunda itu sendiri!
Cangkang
tanpa isi, barangkali itulah yang akan terjadi jika trauma historis
ini terus menerus berlanjut!
Rupa yang tidak jelas kemana lagi arah tujuan, hanya sebatas asal
hidup, bahasa yang hanya sebatas pada kata-kata tanpa relevansi yang
jelas, adat yang hanya berisi aturan-aturan yang tidak diketahui
asal-usulnya, aksara yang hanya menjadi warisan arkelogi, dan
kebudayaan yang hanya menjadi tontonan publik tanpa sebuah arti!
Pragmatisme telah menyusup dalam pikiran dan cara hidup Sunda.
Padahal sejatinya pragmatisme adalah musuh terdekat bagi falsafah
Sunda yang menuntut kesejatian (kuring)
dan keselaran dan kecukupan hidup (kaluginaan).
Lalu
bagaimana lonlondokan itu?
Lolondokan adalah sebuah
implementasi dari sebuah pikiran Sunda tentang
manusia. Praksis dari sebuah
pandangan antropologis-sosiologis dari pikiran Sunda. Di dalam
lolondokan terkandung
sebuah keberanian dan kebijaksanaan hidup. Dimana hidup itu harus
dijalani dengan berani, tapi bukan berarti semena-mena, dan
sembarangan, tapi berhati-hati dan berwaspada diri. Keberanian yang
tertinggi bukanlah mengumbar kekuasaan, atau berani menantang dan
melawan dengan segala atribut yang dimiliki manusia itu! Sebalinya,
keberanian yang tertinggi adalah keberanian untuk sama sekali tidak
memakai atribut-atribut, termasuk kekuasaan, kemampuan, derajat,
bahkan meninggalkan semua itu menuju keutuhan diri dan pencapaian
identitas diri yang utuh untuk kemudian dilekatkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sederhananya,
si Bunglon menjadi hijau di medan yang hijau, menjadi hitam di medan
yang hitam, menjadi tidak terlihat dan samar-samar keberadaanya,
bukan untuk cari untung, bukan untuk sebuah tujuan pragmatis. Tapi
sebuah upaya pribadi manusia Sunda untuk sebuah kesetaraan. Hidup itu
harus berani, termasuk berani untuk meninggalkan ego diri demi welas
asih, yakni demi kemanusiaan (sesama) dan demi sebuah bangsa. Hidup
itu tidak boleh munafik oleh karena pangkat dan derajat, tinggalkan
selubung dan jubah kebesaran itu yang menyebabkan kita tidak bisa
setara dengan sesama, itulah makna yang hakiki dari si Bunglon. Si
Bunglon menjadi hijau di tempat hijau, menjadi hitam di tempat hitam,
dipandang sebagai sebuah keberanian hidup untuk meninggalkan segala
atribut-atribut yang melekat pada diri manusia yang menyebabkan dia
tidak/enggan bersatu dan bersekutu dengan sesama. Karenya sekali lagi apa
yang si Bunglon contohkan, menjadi tamparan keras bagi kita manusia
yang lebih senang berlindung pada apa yang melekat pada diri kita,
kita takut, dan kita pengecut, itulah kenyataannya. Kita manusia yang
sulit untuk berani menegakkan ciri manusia itu,terutama
welas asih. Karena kita
takut, bahkan kita takut untuk mengakui ketakutan itu ada pada diri
kita. Dengan
cepat kita memutarbalikan keadaan dan menjadi penindas bagi sesama.
Kita memaksa sesama kita untuk melakukan apa yang kita mau, lalu kita
sebut itu hukum, kita sebut itu adat, kita sebut itu budaya! Inilah
perlawanan dan penolakan pikiran Sunda terhadap dehumanisasi yang
didasari pada pragmatisme.
Dengan demikian di dalam lolondokan, kita menemukan bahwa welas asih bukanlah sebuah puisi cinta semata, bukan juga sebatas kata-kata indah, dan bukan sebuah romantisme saja! Welas asih itu membutuhkan pengertian dan inteletual namun di sisi lain, welas asih menuntut sebuah keberanian yang melahirkan sebuah tindakan, tindakan yang mampu untuk menerobos segala sekat-sekat dan dinding-dinding pemisah diantara manusia dimana kita tidak bisa lari dari tugas dan tanggungjawab kita pada sesama.
Si
Bunglon hijau di tempat hijau dan hitam di tempat hitam karena sebuah
observasi pada realitas. “Tengoklah ke kiri dan ke kenan
di mana Engkau berada, dan jadilah seperti itu.”
Itulah wejangan dari si Bunglon. Tengoklah saudaramu yang hidup dalam
kemiskinan, mungkinkah dan tegakah engkau
hidup dalam kekayaanmu sendiri sedangkan
saudaramu terbaring lemah dalam kelaparan?
Tengoklah saudaramu yang masih bodoh, mungkinkah kamu menganggap
dirimu hebat sementara saudaramu hidup dalam kebodohan? “Mungkinkah
engkau hidup dengan hijau (subur makmur) kala sesama hidup dalam
kelam hitam?“Tengoklah,
dan hiduplah seperti itu.” Itulah filosofi dari lolondokan.
“Kesetaraan” disini adalah kunci dari pemahaman kita terhadap
filosofi lolondokan. Perlu
sebuah keberanian dan kerelaan yang besar untuk menjadi setara,
karenanya ini adalah keberanian tertinggi. Beranikah saya dan anda
untuk hari ini meninggalkan apa yang melekat pada diri kita demi
saudara-saudara kita? demi sebuah kata "setara" demi sesuatu yang dijunjung yaitu welas asih? Atau kita masih bersembunyi di dalam
artribut-atribut yang melekat pada diri kita?
Lolondokan
adalah lampah
(praksis) dari wujud sebuah pemanusiaan. Manusia
tidak bisa hidup hanya karena sebuah konsep. Sebuah konsep sama
sekali tidak akan mengubah kehidupan. Sebuah konsep harus
diimplementasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Karenanya
bagi pikiran Sunda lampahlah (tindakan)
yang dapat mengubah realitas. Antara konsep atau cara pandang kita
terhadap dunia haruslah melekat erat pada realitas yang ada
disekeliling kita, dengan demikian kita dapat relevan dengan dunia
dimana kita berada, itulah kebijaksanaan hidup. Konsep atau cara
pandangnya itu dihasilkan dari obsevarsi kita terhadap dunia dimana
kita berada, yakni seperti halnya Si Bunglon yang melihat realitas
sekelilingnya yang kemudian ia beradaptasi dengan itu. Demikian juga
kita manusia, observasilah, tengoklah, tengok ke kiri dan ke kanan,
lihat dimana diri kita berada, dan relevanlah.
Sebuah
bangsa yang besar, adalah sebuah bangsa yang berisikan manusia yang saling memanusiakan.
Adapun manusia itu haruslah berani, berani dalam segala hal, termasuk
berani untuk melihat kelemahan yang ada pada dirinya, dan berani
untuk menghadapi tantangan yang dihadapinya. Kelangsungan dari bangsa
Indonesia ini pun terletak pada manusia yang ada di dalamnya. Apakah
kita termasuk dalam jajaran manusia pemberani? Pemberani untuk
menegakan ciri dan nilai dari manusia itu? Ataukah kita hanya hidup
secara pragmatis saja demi keamanan dan kenyamanan kita? kita menutup mata dari realitas dimana kita berada? Hendaknya
ini menjadi perenungan kita.
Kelangsungan
dan pergerakan pikiran Sunda terus-menerus diperhadapkan dalam
berbagai tantangan. Adapun maju mundurnya filosofi Sunda itu,
dikembalikan pada manusia Sunda itu sendiri. Sejauhmana ia mau
belajar (ngulik) dan menyadari dirinya dan terus-menerus berwaspada diri.
Seorang motivator dunia
mengatakan, “keberanian adalah langkah awal untuk mempejari
sesuatu, tanpa keberanian kita tidak akan mampu untuk mempelajari
nilai-nilai lain.” Tepatlah jika motivasi ini disampaikan di tatar
Pasundan. Tepatlah jika motivasi ini dikumandangkan di nusantara kita
ini. Dimana kita harus berani menata kembali negeri! Kita perlu
bangkit dari trauma historis yang menyebabkan kita tertidur! Kabayan
harus disintreuk (disentil) supaya bangun dari tidurnya dan belajar
dari “Mbah Bunglon/Londok”
untuk tengok kiri dan kanan, tengok ke luar, tengok ke dalam.
Akhirnya, saudara-saudaraku sebangsa dan senegara, tengoklah dan relevanlah...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar