Jumat, 20 Juni 2014

Lolondokan...

Meniru cara hidup Londok (bahasa Indonesia : Bunglon) adalah salah satu filosofi hidup orang Sunda, yang disebut dengan lolondokan. Dalam perkembangannya lolondokan kini mengalami penyempitan makna yang hanya diartikan sebagai sebuah tindakan pragmatis. Lolondokan mengalami penyempitan makna hanya meliputi pengambilan keputusan secara etis dan praktis seseorang atau sekelompok orang dalam suatu lingkungan agar diterima, agar diuntungkan, agar tidak mengalami kerugian. Padahal lolondokan adalah salah satu wujud welas asih, yakni bagaimana manusia itu harus hidup dengan sesamanya, merasakan apa yang dirasakan sesamanya dan menjadi setara..


Jika lolondokan hanya dipamahi sebagai sebuah tindakan pragmatis saja, tidak salah jika kita berasumsi jika masyarakat Sunda pada umumnya adalah masyarakat yang pasif, suka dengan status quo, dan masyarakat yang suka cari aman. Hal ini jelas tergambar dalam pola masyarakat Sunda yang tidak suka menjadi minoritas dan berlindung pada payung mayoritas. Contohnya, masuknya Islam sebagai agama negara dan agama mayoritas sejak ekspansi kerajaan-kerajaan Islam ke tanah Pasundan menyebabkan masyarakat Sunda dengan mudah menerima Islam sebagai agamanya, padahal kalau ditelusuri masuknya masyarakat Sunda kala itu menjadi Islam (secara politis pada umumnya) tidak lebih dari tindakan pragmatis-politis untuk cari aman. Sementara di dalamnya keyakinan dan paham mereka tidak berubah, mereka tetaplah Sunda hanya sekarang berbajukan agama.
Menurut salah seorang penghayat Sunda, Daud Bin Dahlan (alm) menegaskan bahwa, “Segala sesuatu bisa diterima oleh orang Sunda, selama itu mengandung manfaat, selama itu memiliki guna, namun belum tentu (tidak sama sekali) menjadi darah dan daging, melainkan hanya menjadi baju (alat pelindung) yang selama diperlukan bisa dipakai, kalau sudah tidak diperlukan bisa dilepaskan.” Menurut Daud Bin Dahlan (alm) penyempitan makna ini didasarkan pada pengalaman historis yang panjang, dimana orang Sunda mengalami kekecewasaan historis, atau bisa dikatakan sebagai trauma historis. Trauma historis yang dimaksud adalah jatuhnya kerajaan-kerajaan Sunda secara berkali-kali pada tangan tirani kala itu, di mulai dari perang saudara, ekspansi dari kerajaan-kerajaan Hindu yang berdekatan dengan kerajaan Sunda, ekspansi dari kerajaan-kerajaan Islam, hingga munculnya jajahan dari negara Eropa seperti Potugis dan Belanda. Trauma historis ini mendatangkan kejenuhan hingga membawa pada penyimpangan terhadap falsafah Sunda.

Jika lolondokan hanya dipahami sebagai upaya untuk cari aman, tentu sangat pragmatis sekali, hanya melulu berfokus pada keuntungan diri, tentu saja hal ini berlawanan dengan ciri manusia itu sendiri yang dipahami dalam filsafat Sunda. Salah satu ciri itu adalah (1) welas asih [2. tatakrama (etika berprilaku), 3. Undak-usuk (etika berbahasa), 4. Budi daya budi basa (penghatayatan dan pemaknaan terhadap sebuah pekerjaan dan bahasa) , 5. Wiwaha Yuda Na Raga (“Ngaji Badan” membaca dan memahami sebuah tatanan [ekosistem/tubuh] secara utuh]. Di dalam welas asih manusia tidak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Welas asih adalah penghubung antara setiap pribadi dengan alam di mana ia berada. Hilangnya welas asih dalam diri manusia akan menyebabkan manusia itu tidak menjadi manusia, yang akhirnya tidak akan mewujudkan suatu bangsa, atau akan meruntuhkan suatu bangsa. Dimana bangsa memiliki 5 ciri (1. Rupa (wajah, terkandung di dalamnya arah dan pandangan), 2. Basa (bahasa), 3. Adat (tradisi) 4. Aksara (tulisan), 5. Kebudayaan). Maka jelas jika lolodokan hanya dipahami sebagai tindakan pragmatis saja ini akan meruntuhkan isi dari antropologi dan bahkan filsafat dan manusia sunda itu sendiri!

Cangkang tanpa isi, barangkali itulah yang akan terjadi jika trauma historis ini terus menerus berlanjut! Rupa yang tidak jelas kemana lagi arah tujuan, hanya sebatas asal hidup, bahasa yang hanya sebatas pada kata-kata tanpa relevansi yang jelas, adat yang hanya berisi aturan-aturan yang tidak diketahui asal-usulnya, aksara yang hanya menjadi warisan arkelogi, dan kebudayaan yang hanya menjadi tontonan publik tanpa sebuah arti! Pragmatisme telah menyusup dalam pikiran dan cara hidup Sunda. Padahal sejatinya pragmatisme adalah musuh terdekat bagi falsafah Sunda yang menuntut kesejatian (kuring) dan keselaran dan kecukupan hidup (kaluginaan).

Lalu bagaimana lonlondokan itu? Lolondokan adalah sebuah implementasi dari sebuah pikiran Sunda tentang manusia. Praksis dari sebuah pandangan antropologis-sosiologis dari pikiran Sunda. Di dalam lolondokan terkandung sebuah keberanian dan kebijaksanaan hidup. Dimana hidup itu harus dijalani dengan berani, tapi bukan berarti semena-mena, dan sembarangan, tapi berhati-hati dan berwaspada diri. Keberanian yang tertinggi bukanlah mengumbar kekuasaan, atau berani menantang dan melawan dengan segala atribut yang dimiliki manusia itu! Sebalinya, keberanian yang tertinggi adalah keberanian untuk sama sekali tidak memakai atribut-atribut, termasuk kekuasaan, kemampuan, derajat, bahkan meninggalkan semua itu menuju keutuhan diri dan pencapaian identitas diri yang utuh untuk kemudian dilekatkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sederhananya, si Bunglon menjadi hijau di medan yang hijau, menjadi hitam di medan yang hitam, menjadi tidak terlihat dan samar-samar keberadaanya, bukan untuk cari untung, bukan untuk sebuah tujuan pragmatis. Tapi sebuah upaya pribadi manusia Sunda untuk sebuah kesetaraan. Hidup itu harus berani, termasuk berani untuk meninggalkan ego diri demi welas asih, yakni demi kemanusiaan (sesama) dan demi sebuah bangsa. Hidup itu tidak boleh munafik oleh karena pangkat dan derajat, tinggalkan selubung dan jubah kebesaran itu yang menyebabkan kita tidak bisa setara dengan sesama, itulah makna yang hakiki dari si Bunglon. Si Bunglon menjadi hijau di tempat hijau, menjadi hitam di tempat hitam, dipandang sebagai sebuah keberanian hidup untuk meninggalkan segala atribut-atribut yang melekat pada diri manusia yang menyebabkan dia tidak/enggan bersatu dan bersekutu dengan sesama. Karenya sekali lagi apa yang si Bunglon contohkan, menjadi tamparan keras bagi kita manusia yang lebih senang berlindung pada apa yang melekat pada diri kita, kita takut, dan kita pengecut, itulah kenyataannya. Kita manusia yang sulit untuk berani menegakkan ciri manusia itu,terutama welas asih. Karena kita takut, bahkan kita takut untuk mengakui ketakutan itu ada pada diri kita. Dengan cepat kita memutarbalikan keadaan dan menjadi penindas bagi sesama. Kita memaksa sesama kita untuk melakukan apa yang kita mau, lalu kita sebut itu hukum, kita sebut itu adat, kita sebut itu budaya! Inilah perlawanan dan penolakan pikiran Sunda terhadap dehumanisasi yang didasari pada pragmatisme.

Dengan demikian di dalam lolondokan, kita menemukan bahwa welas asih bukanlah sebuah puisi cinta semata, bukan juga sebatas kata-kata indah, dan bukan sebuah romantisme saja!  Welas asih itu membutuhkan pengertian dan inteletual namun di sisi lain, welas asih menuntut sebuah keberanian yang melahirkan sebuah tindakan, tindakan yang mampu untuk menerobos segala sekat-sekat dan dinding-dinding pemisah diantara manusia dimana kita tidak bisa lari dari tugas dan tanggungjawab kita pada sesama.

Si Bunglon hijau di tempat hijau dan hitam di tempat hitam karena sebuah observasi pada realitas. “Tengoklah ke kiri dan ke kenan di mana Engkau berada, dan jadilah seperti itu.” Itulah wejangan dari si Bunglon. Tengoklah saudaramu yang hidup dalam kemiskinan, mungkinkah dan tegakah engkau hidup dalam kekayaanmu sendiri sedangkan saudaramu terbaring lemah dalam kelaparan? Tengoklah saudaramu yang masih bodoh, mungkinkah kamu menganggap dirimu hebat sementara saudaramu hidup dalam kebodohan? “Mungkinkah engkau hidup dengan hijau (subur makmur) kala sesama hidup dalam kelam hitam?Tengoklah, dan hiduplah seperti itu.” Itulah filosofi dari lolondokan. “Kesetaraan” disini adalah kunci dari pemahaman kita terhadap filosofi lolondokan. Perlu sebuah keberanian dan kerelaan yang besar untuk menjadi setara, karenanya ini adalah keberanian tertinggi. Beranikah saya dan anda untuk hari ini meninggalkan apa yang melekat pada diri kita demi saudara-saudara kita? demi sebuah kata "setara" demi sesuatu yang dijunjung yaitu welas asih? Atau kita masih bersembunyi di dalam artribut-atribut yang melekat pada diri kita?

Lolondokan adalah lampah (praksis) dari wujud sebuah pemanusiaan. Manusia tidak bisa hidup hanya karena sebuah konsep. Sebuah konsep sama sekali tidak akan mengubah kehidupan. Sebuah konsep harus diimplementasikan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Karenanya bagi pikiran Sunda lampahlah (tindakan) yang dapat mengubah realitas. Antara konsep atau cara pandang kita terhadap dunia haruslah melekat erat pada realitas yang ada disekeliling kita, dengan demikian kita dapat relevan dengan dunia dimana kita berada, itulah kebijaksanaan hidup. Konsep atau cara pandangnya itu dihasilkan dari obsevarsi kita terhadap dunia dimana kita berada, yakni seperti halnya Si Bunglon yang melihat realitas sekelilingnya yang kemudian ia beradaptasi dengan itu. Demikian juga kita manusia, observasilah, tengoklah, tengok ke kiri dan ke kanan, lihat dimana diri kita berada, dan relevanlah.

Sebuah bangsa yang besar, adalah sebuah bangsa yang berisikan manusia yang saling memanusiakan. Adapun manusia itu haruslah berani, berani dalam segala hal, termasuk berani untuk melihat kelemahan yang ada pada dirinya, dan berani untuk menghadapi tantangan yang dihadapinya. Kelangsungan dari bangsa Indonesia ini pun terletak pada manusia yang ada di dalamnya. Apakah kita termasuk dalam jajaran manusia pemberani? Pemberani untuk menegakan ciri dan nilai dari manusia itu? Ataukah kita hanya hidup secara pragmatis saja demi keamanan dan kenyamanan kita? kita menutup mata dari realitas dimana kita berada? Hendaknya ini menjadi perenungan kita.


Kelangsungan dan pergerakan pikiran Sunda terus-menerus diperhadapkan dalam berbagai tantangan. Adapun maju mundurnya filosofi Sunda itu, dikembalikan pada manusia Sunda itu sendiri. Sejauhmana ia mau belajar (ngulik) dan menyadari dirinya dan terus-menerus berwaspada diri. Seorang motivator dunia mengatakan, “keberanian adalah langkah awal untuk mempejari sesuatu, tanpa keberanian kita tidak akan mampu untuk mempelajari nilai-nilai lain.” Tepatlah jika motivasi ini disampaikan di tatar Pasundan. Tepatlah jika motivasi ini dikumandangkan di nusantara kita ini. Dimana kita harus berani menata kembali negeri! Kita perlu bangkit dari trauma historis yang menyebabkan kita tertidur! Kabayan harus disintreuk (disentil) supaya bangun dari tidurnya dan belajar dari “Mbah Bunglon/Londok” untuk tengok kiri dan kanan, tengok ke luar, tengok ke dalam. Akhirnya, saudara-saudaraku sebangsa dan senegara, tengoklah dan relevanlah...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar