Dalam bahasa Sunda tersimpan banyak undak-usuk basa yang
tak jarang maknanya tidak diketahui atau sudah mulai dilupakan.
Padahal salah satu identitas dan ciri khas dari suatu bangsa menurut orang
Sunda sendiri adalah bahasa. Ciri khas bahasa Sunda adalah pemaknaan suatu kata
secara luas. Pemaknaan dan penempatan kata ini menurut salah seorang ahli
bahasa dan sejarah terdiri dari 16 tingkat. Tentu saja jika ke-16 tingkat ini
dipaparkan di dalam blog ini akan menjadi upaya yang sangat melelahkan. Oleh
karena itu dalam blog ini hanya akan menerangkan mengenai judul yang tertera di
atas, yakni salah satu undak-unduk basa dalam bahasa Sunda, ngadu bako.
Apa itu ngadu bako?
Secara hurufiah ngadu = berarti
bertarung/tanding, bako = tembakau.
jadi sederhananya ngaduku bako dapat diartikan bertarung tembakau. Sedangkan
jika diterapkan kata kerja nga = me,
pada kata bako, jadi ngabako berarti merokok tembakau. Jadi
apa bedanya ngaduk bako dan ngabako itu? untuk itu mari kita
telusuri bersama!
Dikalangan orang Sunda jaman dulu menanam, membudidayakan,
dan menggunakan tembakau sebagai rokok sudah dikenal luas. Merokok tembakau
merupakan suatu kebiasaan atau sebuah tradisi masyarakat secara umum. Merokok
tembakau pun menjadi suatu kebiasaan yang sangat merakyat atau dapat dikatakan
menjadi ciri sebuah perkumpulan “masyarakat” atau “rakyat”. Merokok tembakau,
atau kita sebut dengan istilah ngabako
adalah sebuah perlambangan dari sebuah kesederhaan dari sebuah gaya hidup
seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat. Ngabako biasanya dilakukan disela-sela sebuah pekerjaan, atau
dikala sedang “santai”. Intinya ngabako adalah
suatu kegiatan yang “santai.” Sederhananya ngabako mungkin dapat disamakan
dengan “ngopi.” Berbagi bako pun di kalangan masyarakat adalah
suatu hal yang biasa. Saling berbagi (mencicipi) bako nya masing-masing untuk melihat selera dan kebiasaan teman
atau siapapun adalah suatu hal yang biasa. Itu dapat kita sebut dengan ngadu bako. Jadi singkatnya ngadu bako itu berarti saling mencicipi bako. Di dalam ngabako dan ngadu bako
tersebut selalu diselingi dengan suatu perbincangan.
Seiringnya penggunaannya, kedua kata ini memiliki perluasan
makna. Ngabako diartikan sebagai
suatu perbicangan yang tidak ada arti dan gunanya. Ngabako berarti sebuah pembicaraan yang hanya omong doang. Ngabako juga
dapat diartikan berbohong, membicarakan sesuatu yang tidak benar adanya yang
tidak jelas juntrungan dari suatu perbincangan. Ngabako berarti berbicara dari sudut pandang sendiri (searah).
Sedangkan ngadu bako dapat diartikan
sebagai dialog terhadap sebuah wacana atau khasanah sebuah pemikiran. Karena
itu adalah sebuah dialog, maka ada suatu komunikasi dua arah yang saling
mendengarkan/memperhatikan dan saling mengutarakan pendapat masing-masing.
Ngadu bako adalah
istilah untuk sebuah upaya saling memahami. Di dalam masyarakat Sunda tempo
dulu, semenjak kerajaan-kerajaan Sunda mulai berdiri kebiasaan ngadu bako sudah dikenal. Bahkan dapat
dikatakan bahwa ngadu bako adalah
salah satu cara sederhana untuk dapat memahami dan menjadi manusia yang
mengarahkannya pada pemahaman suatu bangsa dan suatu tatanan suatu kerajaan
(negara). Karenanya kita mengenal istilah “ngadu
bako silihwangi”. Ngadu bako silihwangi ini adalah sebuah upaya yang
dilakukan pemerintahan kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja Siliwangi
yang kala itu sudah mampu mempersatukan kembali kerajaan Sunda yang sudah
sempat terpecah. Sehingga kejayaannya dapat disamakan dengan kejayaan raja
sebelumnya (kakek Prabu Siliwangi, yakni Prabu Wangi). Karenaya nama Prabu
Silihwangi sebenarnya adalah sebuah julukan. “silih” = pengganti. “Wangi” =
merujuk pada prabu Wangi, jadi dapat diartikan pengganti/penerus Prabu Wangi.
Bagaimana upaya Prabu Silihwangi tersebut?
Untuk membangun kerajaannya salah satu upaya yang terbilang
sangat sederhana adalah melalui ngadu
bako, dimana para prajurit kerajaan diutus ke berbagai penjuru dan pelosok
seputar daerah kekuasaan kerajaan Sunda kala itu, untuk tinggal diantara
masyarakat (rakyat). Apa yang mereka lakukan? Sangat sederhana, yang mereka
lakukan hanya berbagi bako. Berbagi bako disini tidak hanya saling mencicipi
tembakau secara harfiah, tapi juga berbagi pandangan secara sederhana dan
merakyat. Sehingga para prajurit tidak hanya dilatih secara militer saja, tapi
juga dituntut suatu pemahaman dan pengertian yang luar terhadap sebuah tatanan
baik itu tatanan kemanusian dan juga kenegaraan.
Ngadu bako adalah
kegiataan yang sangat sederhana dan santai, pembicaraannya pun dapat dimulai
dengan pembicaraan yang sangat sederhana. Dimulai dari kehidupan pribadi, yakni
masalah-masalah yang dihadapi, cara pengambilan keputusan terhadap sebuah
kehidupan, atau apa pun. Yang kemudian pembicaraan itu dapat meluas dan
mendalam sampai kepada makna manusia dan hubungannya dengan sebuah kerajaan
atau negara. Ngadu bako adalah upaya
untuk saling belajar, saling mengerti satu sama lain. Ngadu bako adalah upaya untuk mendalami sebuah kehidupan secara
merakyat. Ngadu bako adalah
kesempatan rakyat untuk mengutarakan pandangan-pandangannya terhadap segala
sessuatu, baik itu tentang sebuah kehidupan, tananan masyarakat, atau kerajaan.
Ngadu bako adalah sarana bagi
prajurit untuk dapat mendapatkan informasi dan keragaman pikiran dari
masyarakat tentang hidup, baik itu tentang sebuah pola dalam masyarakat atau
sebuah pemahaman terhadap sebuah kerajaan yang nantinya akan kembali dilaporkan
kepada kerajaan demi kelangsungan dan kemajuan dari kerajaan tersebut.
Karenanya ngadu bako kala itu menjadi
salah satu cara untuk menampung aspirasi dari rakyat. Ngadu bako silihwangi dapat berarti dialog yang saling
mengharumkan/memajukan (silih =saling, wangi =harum) antara rakyat dan
kerajaan/negara.
Ngadu bako dapat
juga berarti proses pendidikan dua arah, yakni antara rakyat-kerajaan/negara.
Antara rayat yang belajar secara informal melalui kehidupan sehari-hari, dan
prajurit yang memang dilatih secara khusus dididik di sekolah kerajaan, untuk
dilihat kesatuan dan keutuhannya, untuk dilihat hubungan antara sebuah teori
atau bahkan ideologi dengan kehidupan praksis. Apakah semuanya itu sesuai atau
bahkan bertolak belakang? Ngadu bako
dapat berarti upaya untuk saling menegakan ciri dari seorang
manusia, dan ciri dari sebuah bangsa. Apa dan bagaimana itu?
Ciri manusia menurut pikiran Sunda terdiri dari 5 aspek,
yakni: 1. Welas asih (Kasih sayang), 2. tatakrama (etika berprilaku), 3.
Undak-usuk (etika berbahasa), 4. Budi daya budi basa (penghatayatan dan
pemaknaan terhadap sebuah pekerjaan dan bahasa) , 5. Wiwaha Yuda Na Raga
(“Ngaji Badan” membaca dan memahami sebuah tatanan [ekosistem/tubuh] secara
utuh). Ciri bangsa menurut pikiran Sunda terdiri dari 5 aspek, yakni : 1. Rupa
(wajah, terkandung di dalamnya arah dan pandangan), 2. Basa (bahasa), 3. Adat
(tradisi) 4. Aksara (tulisan), 5. Kebudayaan.
5 hal di atas ini dapat kita lihat secara simbolik melalui kujang (senjata khas Sunda) dimana kujang memiliki 5 titik. Maka
demikian 5 hal di atas menjadi sesuatu
yang perlu untuk ditegakan/dipelihara oleh setiap orang Sunda. Upaya “saling”
(silih asih, asuh, asah) menjadi kunci dari bagaimana orang Sunda itu
berhubungan. Ngadu bako adalah salah
satu media untuk saling memanusiakan dimana di dalamnya terkandung welas asih,
tatakrama (tata =tataman, semut) yakni saling menghargai dan menghormati baik
di dalam keberbedaan dan kesaamaan masing-masing, undak-usuk yakni pemaknaan
dan keluasan dari sebuah bahasa, budi daya budi basa yakni penghayatan terhadap
sebuah pekerjaan dan bahasa, dan wiwaha
yuna na raga yakni upaya untuk memahami suatu tatanan secara utuh. Yang
kemudian bukan hanya memanusiakan seseorang atau sekelompok manusia, tapi
manusia-manusia itu pun pada akhirnya akan membentuk atau melahirkan suatu
bangsa dimana suatu bangsa memiliki rupa suatu wajah yang didalamnya terkandung
suara arah dan pandangan atas hidup, bahasa, adat atau tradisi, aksara atau
tulisan, yang dikemas dalam sebuah kebudayaan.
Dengan demikian sampailah kita pada sebuah kesimpulan bahwa dalam
kesundaan, Ngadu bako atau dialog
(sederhana diantara masyarakat jelata) dianggap sebagai sebuah metode/cara
untuk menegakan manusia dan bangsa. Sehingga manusia itu tidak bisa berdiri
hanya menurut pandangannya saja, dan suatu bangsa itu berdiri tidak bisa
menurut keinginan dan kehendak dari penguasanya saja. Suatu bangsa yang besar
adalah bangsa yang saling memanusiakan, dan manusia yang saling memanusiakan
pada akhirnya akan membentuk suatu bangsa yang besar.
Sampailah kita pada kesadaran bahwa betapa beragamnya suku
bangsa dan bahasa yang ada di Indonesia ini. Rasanya bukanlah sebuah arogansi
ketika kita mengatakan bahwa negara kita Indonesia adalah sebuah negara yang
besar dan kaya. Namun kebesaran dan kekayaan itu akan sirna jika tidak ada
manusianya, kebesaran dan kekayaan itu tidak akan menjadi apa-apa tanpa
manusia. Karenanya marilah kita saling memanusiakan! Marilah kita berdialog!
Marilah kita saling memahi dan mengenal. Bukankah suatu kebahagiaan ketika kita
dapat saling mengenal dan saling memahami?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar