Minggu, 25 Mei 2014

Ngadu Bako...

Dalam bahasa Sunda tersimpan banyak undak-usuk basa yang tak jarang maknanya tidak diketahui atau sudah mulai dilupakan. Padahal salah satu identitas dan ciri khas dari suatu bangsa menurut orang Sunda sendiri adalah bahasa. Ciri khas bahasa Sunda adalah pemaknaan suatu kata secara luas. Pemaknaan dan penempatan kata ini menurut salah seorang ahli bahasa dan sejarah terdiri dari 16 tingkat. Tentu saja jika ke-16 tingkat ini dipaparkan di dalam blog ini akan menjadi upaya yang sangat melelahkan. Oleh karena itu dalam blog ini hanya akan menerangkan mengenai judul yang tertera di atas, yakni salah satu undak-unduk basa dalam bahasa Sunda, ngadu bako.

Apa itu ngadu bako? Secara hurufiah ngadu = berarti bertarung/tanding, bako = tembakau. jadi sederhananya ngaduku bako dapat diartikan bertarung tembakau. Sedangkan jika diterapkan kata kerja nga = me, pada kata bako, jadi ngabako berarti merokok tembakau. Jadi apa bedanya ngaduk bako dan ngabako itu? untuk itu mari kita telusuri bersama!

Dikalangan orang Sunda jaman dulu menanam, membudidayakan, dan menggunakan tembakau sebagai rokok sudah dikenal luas. Merokok tembakau merupakan suatu kebiasaan atau sebuah tradisi masyarakat secara umum. Merokok tembakau pun menjadi suatu kebiasaan yang sangat merakyat atau dapat dikatakan menjadi ciri sebuah perkumpulan “masyarakat” atau “rakyat”. Merokok tembakau, atau kita sebut dengan istilah ngabako adalah sebuah perlambangan dari sebuah kesederhaan dari sebuah gaya hidup seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat. Ngabako biasanya dilakukan disela-sela sebuah pekerjaan, atau dikala sedang “santai”. Intinya ngabako adalah suatu kegiatan yang “santai.” Sederhananya ngabako mungkin dapat disamakan dengan “ngopi.” Berbagi bako pun di kalangan masyarakat adalah suatu hal yang biasa. Saling berbagi (mencicipi) bako nya masing-masing untuk melihat selera dan kebiasaan teman atau siapapun adalah suatu hal yang biasa. Itu dapat kita sebut dengan ngadu bako. Jadi singkatnya ngadu bako itu berarti saling mencicipi bako. Di dalam ngabako dan ngadu bako tersebut selalu diselingi dengan suatu perbincangan.

Seiringnya penggunaannya, kedua kata ini memiliki perluasan makna. Ngabako diartikan sebagai suatu perbicangan yang tidak ada arti dan gunanya. Ngabako berarti sebuah pembicaraan yang hanya omong doang. Ngabako juga dapat diartikan berbohong, membicarakan sesuatu yang tidak benar adanya yang tidak jelas juntrungan dari suatu perbincangan. Ngabako berarti berbicara dari sudut pandang sendiri (searah). Sedangkan ngadu bako dapat diartikan sebagai dialog terhadap sebuah wacana atau khasanah sebuah pemikiran. Karena itu adalah sebuah dialog, maka ada suatu komunikasi dua arah yang saling mendengarkan/memperhatikan dan saling mengutarakan pendapat masing-masing.

Ngadu bako adalah istilah untuk sebuah upaya saling memahami. Di dalam masyarakat Sunda tempo dulu, semenjak kerajaan-kerajaan Sunda mulai berdiri kebiasaan ngadu bako sudah dikenal. Bahkan dapat dikatakan bahwa ngadu bako adalah salah satu cara sederhana untuk dapat memahami dan menjadi manusia yang mengarahkannya pada pemahaman suatu bangsa dan suatu tatanan suatu kerajaan (negara). Karenanya kita mengenal istilah “ngadu bako silihwangi”. Ngadu bako silihwangi ini adalah sebuah upaya yang dilakukan pemerintahan kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja Siliwangi yang kala itu sudah mampu mempersatukan kembali kerajaan Sunda yang sudah sempat terpecah. Sehingga kejayaannya dapat disamakan dengan kejayaan raja sebelumnya (kakek Prabu Siliwangi, yakni Prabu Wangi). Karenaya nama Prabu Silihwangi sebenarnya adalah sebuah julukan. “silih” = pengganti. “Wangi” = merujuk pada prabu Wangi, jadi dapat diartikan pengganti/penerus Prabu Wangi. Bagaimana upaya Prabu Silihwangi tersebut?

Untuk membangun kerajaannya salah satu upaya yang terbilang sangat sederhana adalah melalui ngadu bako, dimana para prajurit kerajaan diutus ke berbagai penjuru dan pelosok seputar daerah kekuasaan kerajaan Sunda kala itu, untuk tinggal diantara masyarakat (rakyat). Apa yang mereka lakukan? Sangat sederhana, yang mereka lakukan hanya berbagi bako. Berbagi bako disini tidak hanya saling mencicipi tembakau secara harfiah, tapi juga berbagi pandangan secara sederhana dan merakyat. Sehingga para prajurit tidak hanya dilatih secara militer saja, tapi juga dituntut suatu pemahaman dan pengertian yang luar terhadap sebuah tatanan baik itu tatanan kemanusian dan juga kenegaraan.

Ngadu bako adalah kegiataan yang sangat sederhana dan santai, pembicaraannya pun dapat dimulai dengan pembicaraan yang sangat sederhana. Dimulai dari kehidupan pribadi, yakni masalah-masalah yang dihadapi, cara pengambilan keputusan terhadap sebuah kehidupan, atau apa pun. Yang kemudian pembicaraan itu dapat meluas dan mendalam sampai kepada makna manusia dan hubungannya dengan sebuah kerajaan atau negara. Ngadu bako adalah upaya untuk saling belajar, saling mengerti satu sama lain. Ngadu bako adalah upaya untuk mendalami sebuah kehidupan secara merakyat. Ngadu bako adalah kesempatan rakyat untuk mengutarakan pandangan-pandangannya terhadap segala sessuatu, baik itu tentang sebuah kehidupan, tananan masyarakat, atau kerajaan. Ngadu bako adalah sarana bagi prajurit untuk dapat mendapatkan informasi dan keragaman pikiran dari masyarakat tentang hidup, baik itu tentang sebuah pola dalam masyarakat atau sebuah pemahaman terhadap sebuah kerajaan yang nantinya akan kembali dilaporkan kepada kerajaan demi kelangsungan dan kemajuan dari kerajaan tersebut. Karenanya ngadu bako kala itu menjadi salah satu cara untuk menampung aspirasi dari rakyat. Ngadu bako silihwangi dapat berarti dialog yang saling mengharumkan/memajukan (silih =saling, wangi =harum) antara rakyat dan kerajaan/negara.

Ngadu bako dapat juga berarti proses pendidikan dua arah, yakni antara rakyat-kerajaan/negara. Antara rayat yang belajar secara informal melalui kehidupan sehari-hari, dan prajurit yang memang dilatih secara khusus dididik di sekolah kerajaan, untuk dilihat kesatuan dan keutuhannya, untuk dilihat hubungan antara sebuah teori atau bahkan ideologi dengan kehidupan praksis. Apakah semuanya itu sesuai atau bahkan bertolak belakang? Ngadu bako dapat berarti upaya untuk saling menegakan ciri dari seorang manusia, dan ciri dari sebuah bangsa. Apa dan bagaimana itu?

Ciri manusia menurut pikiran Sunda terdiri dari 5 aspek, yakni: 1. Welas asih (Kasih sayang), 2. tatakrama (etika berprilaku), 3. Undak-usuk (etika berbahasa), 4. Budi daya budi basa (penghatayatan dan pemaknaan terhadap sebuah pekerjaan dan bahasa) , 5. Wiwaha Yuda Na Raga (“Ngaji Badan” membaca dan memahami sebuah tatanan [ekosistem/tubuh] secara utuh). Ciri bangsa menurut pikiran Sunda terdiri dari 5 aspek, yakni : 1. Rupa (wajah, terkandung di dalamnya arah dan pandangan), 2. Basa (bahasa), 3. Adat (tradisi) 4. Aksara (tulisan), 5. Kebudayaan.

5 hal di atas ini dapat kita lihat secara simbolik melalui kujang (senjata khas Sunda) dimana kujang memiliki 5 titik. Maka demikian  5 hal di atas menjadi sesuatu yang perlu untuk ditegakan/dipelihara oleh setiap orang Sunda. Upaya “saling” (silih asih, asuh, asah) menjadi kunci dari bagaimana orang Sunda itu berhubungan. Ngadu bako adalah salah satu media untuk saling memanusiakan dimana di dalamnya terkandung welas asih, tatakrama (tata =tataman, semut) yakni saling menghargai dan menghormati baik di dalam keberbedaan dan kesaamaan masing-masing, undak-usuk yakni pemaknaan dan keluasan dari sebuah bahasa, budi daya budi basa yakni penghayatan terhadap sebuah pekerjaan dan bahasa, dan wiwaha yuna na raga yakni upaya untuk memahami suatu tatanan secara utuh. Yang kemudian bukan hanya memanusiakan seseorang atau sekelompok manusia, tapi manusia-manusia itu pun pada akhirnya akan membentuk atau melahirkan suatu bangsa dimana suatu bangsa memiliki rupa suatu wajah yang didalamnya terkandung suara arah dan pandangan atas hidup, bahasa, adat atau tradisi, aksara atau tulisan, yang dikemas dalam sebuah kebudayaan.

Dengan demikian sampailah kita pada sebuah kesimpulan bahwa dalam kesundaan, Ngadu bako atau dialog (sederhana diantara masyarakat jelata) dianggap sebagai sebuah metode/cara untuk menegakan manusia dan bangsa. Sehingga manusia itu tidak bisa berdiri hanya menurut pandangannya saja, dan suatu bangsa itu berdiri tidak bisa menurut keinginan dan kehendak dari penguasanya saja. Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang saling memanusiakan, dan manusia yang saling memanusiakan pada akhirnya akan membentuk suatu bangsa yang besar.


Sampailah kita pada kesadaran bahwa betapa beragamnya suku bangsa dan bahasa yang ada di Indonesia ini. Rasanya bukanlah sebuah arogansi ketika kita mengatakan bahwa negara kita Indonesia adalah sebuah negara yang besar dan kaya. Namun kebesaran dan kekayaan itu akan sirna jika tidak ada manusianya, kebesaran dan kekayaan itu tidak akan menjadi apa-apa tanpa manusia. Karenanya marilah kita saling memanusiakan! Marilah kita berdialog! Marilah kita saling memahi dan mengenal. Bukankah suatu kebahagiaan ketika kita dapat saling mengenal dan saling memahami?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar