[intisari dari cerita si Kabayan ngala suluh]
Haha, apalagi yang dibuat si Kabayan kali ini? Setelah si Kabayan mengajak kita untuk
berwaspada diri untuk melihat hidup secara utuh, rupaya tak puas juga ia berkelanan
di pikiran kita. Kali ini si Kabayan
hendak ngetes kita! bagaimana itu?
beginilah ceritanya...
Suatu hari si Kabayan diajak oleh mertuanya si Abah untuk mengambil kayu bakar di hutan. Sore itu Abah mertua
Kabayan datang ke rumah Kabayan.
Abah: “Kabayan besok kita ke hutan,
kita ambil kayu bakar ya!”
Kabayan : “Siap Bah!”
Begitulah jawab si Kabayan. Padahal sebenarnya si Kabayan malas untuk pergi ke hutan,
maka ia berusaha mencari akal untuk menggagalkan rencana ke hutan. Akhirnya terpikirlah
suatu ide cemerlang. Sore itu juga si Kabayan
bergegas pergi ke pasar membeli macam-macam buah-buahan. Pagi-pagi benar si Kabayan bangun. Sebelum orang lain
bangun si Kabayan sudah bangun
duluan. Padahal sehari-hari si
Kabayan selalu kesiangan. Pagi itu si Kabayan
bergegas membawa buah-buah yang kemarin sore ia beli dari pasar ke jalan
sepanjang jalan menuju ke hutan. Si Kabayan
menyimpan buah-buah tersebut di tempat-tempat tersembunyi secara terpisah,
diakhiri dengan senyum kecil si Kabayan
berkata dalam hatinya, “Haha, pasti berhasil. Dijamin moal jadi ka leuweung teh
[dijamin tidak akan jadi pergi ke hutan]” kemudian si Kabayan kembali ke rumah dan pura-pura tidur.
Pagi itu Abah memanggil si Kabayan,
“Kabayan, Kabayan bangun! Ayo kita berangkat!”
Si Kabayan segera bangun dan
menjawab, “Iya bah. Ayo!”
Maka berangkatlah Abah dan si
Kabayan menuju hutan. Perjalanan belum jauh dari rumah, tiba-tiba si Kabayan
berhenti dan mengendus-ngendus. Kata Abah, “Heh Kabayan kenapa kamu?” Jawab si
Kabayan, “Sebentar bah, saya mencium ada bau buah sawo nih!” “Ah yang benar
kamu Kabayan?” Kata Abah dengan ragu. Lalu si Kabayan bergegas seolah-olah
mencari dimana lokasi buah sawo itu berada, ia mengelilingi pohon-pohon dan
rerumputan di sekitar jalan itu. masuklah si Kabayan ke salah satu rerumputan
yang tinggi. Lalu ia berteriak, “Nah, ini dia sawonya!” Abah yang heran dengan
tingkah si Kabayan berusaha melihat dari kejauhan apa yang dilakukan si
Kabayan, tidak jelas apa yang dilihat Abah, maka Abah memanggil si Kabayan, “Ke sini Kabayan, apa itu
yang kamu bawa?” si Kabayan berlari menghadap Abah dan berteriak-teriak
kegirangan, “Abah-Abah, ini saya menemukan sawo. Ayo kita makan dulu!” Abah
yang semula ragu kini mula percaya pada si Kabayan. “Wah, rupanya bagus juga
penciuman kamu kabayan! Ya sudah kita nikmati dulu saja sawo ini.” maka sejenak
mereka berhenti dari perjalanan dan hendak menikmati sawo temuan si Kabayan
tersebut. Kemudian tak lama mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Tiba-tiba tak lama setelah itu di
tengah jalan si Kabayan berhenti lagi, dan mulai mengendus-endus lagi. Dia berhenti
dan mulai mencari lagi. “Apa lagi Kabayan? Tanya Abah. “Sebentar bah, saya
mencium ada bau buah nangka.” Jawab si Kabayan. “Ah yang benar kamu kabayan? Coba
cari siapa tahu aja benar!” kini si Abah menyuruh si Kabayan untuk mencari. Masuklah
si Kabayan ke semak-semak dan ia kembali berteriak, “Nah ini dia nangkanya.” Kemudian
nangka itu dibawa ke hadapan Abah. “Bah ini nangkanya, mari kita nikmati dulu!”
begitulah kata si Kabayan. Si Abah senang dengan temuan nangka si Kabayan itu,
dan kemudian mereka menghentikan perjalanan untuk sejenak melahap nangka temuan
si Kabayan itu.
Setelah kenyang oleh sawo dan
nangka mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama setelah itu, bahkan
masih jauh perjalanan mereka menuju hutan, lagi-lagi si Kabayan berhenti, dan
mengedus-endus lagi. Abah kini tak ragu lagi! “Apa lagi yang kamu cium kabayan?”
“Ada bau buah mangga nih bah.” Jawab si Kabayan. “Cepat cari, wah kita beruntung
nih.” Kata Abah girang dan hendak menantikan temuan buah mangga si Kabayan. Lagi-lagi
mereka menghentikan perjalanan untuk sejenak menikmati temuan buah mangga itu.
Kali ini benar-benar Abah sudah
terperangkap dengan tipuan si Kabayan. Ketika mereka hendak meneruskan
perjalanan tiba-tiba si Kabayan berhenti dan mengendus-endus lagi. Kali ini
bukan lagi tidak ragu, tapi si Abah sudah yakin benar dengan penciuman si
kabayan, spontan saja Abah bertanya, “Apa yang kamu cium sekarang Kabayan?” si
Kabayan berkata, “Sebentar bah, ini baunya agak aneh.” Abah penasaran dan
menunggu jawaban selanjutnya dari si Kabayan. “Wah bah, ini bahaya, kalau ini
bau Harimau bah!” kata si Kabayan. “Wah, bahaya Kabayan, kalau begitu kita
sekarang tidak usah ke hutan, kita pulang saja. Ayo cepat kita pulang Kabayan!”
lalu dengan semangat si Kabayan pulang menuju rumah. Rencananya untuk menggagalkan
perjalanan berhasil. Demikianlah mereka tidak jadi meneruskan perjalanan
mereka, dan mereka kembali ke rumah tanpa hasil apapun.
Begitulah akal bulus si Kabayan
menipu mertuanya, si Abah.
Apa maksud dari cerita ini? Cerita
ini barangkali adalah sebuah ujian atau sebuah tes dari keprihatinan si Kabayan
melihat hidup (dalam artikel saya yang sebelumnya yang berjudul Si Kabayan Manggih Mudun? [untuk melihat
klik disini]). Sebuah tes bahwa setiap kita perlu waspada dengan “pudunan” (kenyamanan)
yang membuat kita terlena dengan kenyataan yang sesungguhnya. Bahwa hidup perlu
untuk betul-betul dihidupi dan bukan hanya menerima “apa kata orang”. Kenyataan yang perlu kita lihat bahwa
sebenarnya manusia tidak selalu memanusiakan sesamanya! Kenyataan dimana kita
tidak boleh naif melihat dunia! Si Kabayan mengajarkan kita suatu kenyataan
yang patut kita sadari betul bahwa diantara kita manusia ada sifat untuk
membodohi sesama. Kenyataan inilah yang membawa kita pada sebuah kesadaran dan
kewaspadaan bahwa hidup itu sungguh-sungguh perlu dipelajari dan dihayati.
Cerita sederhana ini menerangkan
bagaimana pemikiran sunda sejak dulu sudah menyadari bahwa proses pemanusiaan
adalah proses yang tidak mudah. Manusia memiliki kecenderungan untuk berkuasa,
untuk mengotrol sesamanya. Dan dalam hal ini apa yang melekat pada manusia itu,
termasuk akal dan alam pikirnya mungkin saja menjadi alat untuk menjalankan
keinginan dan tujuannya tersebut! Berkuasa di sini tidak selalu diartikan
memenggan suatu status sosial atau kuasa sebagai pemerintah, tapi jauh dari
itu, secara perlahan menyuntikan keyakinan palsu, kebohongan, tipu muslihat
dst, adalah bentuk dari kuasa yang tidak terlihat. Penindasan pada nilai-nilai
kemanusiaan terdiri dari berbagai macam manifestasi. Pengabaian pada
kemanusiaan hendaknya jangan dilihat dari kulitnya saja, tapi juga dilihat dari
isinya.
Melalui cerita singkat ini, kita dapat
melihat bagaimana kecerdikan dari si Kabayan
yang diramu sedemikian rupa menjadi sebuah proses penyuntikan “keyakinan palsu”
pada Abah, menyebabkan Abah berada dalam kontrol si Kabayan. Maka demikianlah kata orang Sunda, jika hidup tidak
sungguh-sungguh dipelajari sebenarnya kita ini adalah manusia yang mudah untuk
dikelabui. Maka selalu berlaku hukum yang cerdik yang menjadi tuan atas yang
bodoh. Karenanya dalam pemikiran sunda kembali ditekankan bahwa hidup jangan
puas hanya karena “apa kata orang.” Tapi pelajari dan alami! Di sini pemikiran
Sunda melihat hubungan antara sebuah teori dan praksis sebagai sebuah kesatuan,
dimana teori haruslah terdiri dan teruji dari praksis dan praksis itu yang
telah diuji menghasilkan sebuah teori. Sehingga hubungan teori dan praksis
menjadi sebuah siklus pemikiran yang selalu berputar dan selalu mengalami
pemaknaan baru (revisi) sesuai dengan pendalaman setiap orang secara personal. Yang
“bodoh” harus menyadari bahwa ia adalah “bodoh” sehingga mendorongnya untuk
belajar dan membawa dirinya “keluar” dari ke-bodoh-annya. Sehingga ia dapat
menangkis bahkan melawan kecerdikan orang yang hendak menindasnya. Karenanya sudah
menjadi peran dan tugas penting bagi setiap “orang bodoh” untuk bangkit dan
menyadari kondisinya agar terbebas dari penindasan menuju pada kemanusiaan yang
seharusnya. Kebodohan dalam kesundaan adalah sesuatu yang harus dihindari dan
dilawan, karena pada dasarnya kebodohan menjadi sebuah “celah” /kesempatan
untuk sebuah penindasan dan pengabaian pada kemanusiaan!
“Bodoh” dalam bahasa sunda memiliki
sekurang-kurangnya memiliki dua istilah, 1) bodo
katotoloyo (sungguh-sungguh bodoh/bodoh karena tidak bertanya) 2) bodo alewoh ([terlihat]bodoh
karena banyak bertanya). Bodoh yang kedua inilah yang disarankan. Artinya merasa
“bodoh” itu penting, karena dengan merasa bodoh ada keinginan untuk bertanya,
ada keinginan untuk belajar! Setidak-tidaknya dengan bertanya seseorang dapat
mengetahui sesuatu yang hendak ia ingin tahu. Tapi jika seseorang tidak punya
pertanyaan, tidak tahu apa yang dia tidak tahu, maka tidak akan ada jawaban, ia
tidak akan mendapatkan apa-apa! Sangat sederhana. Kesadaran pada hal inilah
yang akan menjauhkan setiap individu pada penindasan dan cengkraman dari
penguasa.
Sampailah kita pada pertanyaan
klasik ini, apakah alasan manusia memiliki sifat untuk menindas/mengontrol
sesamanya? Bagi pikiran Sunda, jawabannya sangat sederhana. Karena manusia
malas! Manusia malas untuk bekerja, manusia lebih suka mempekerjakan. Manusia malas
untuk diajak maju, manusia lebih suka duduk manis di singgasananya! Singgasana si
Kabayan adalah tempat tidurnya. Ia lebih cinta tepat tidurnya dari pada sebuah
pekerjaan yang jelas-jelas akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
keluarganya. Lebih mudah baginya untuk menggunakan akal dan pikirannya untuk
menggagalkan rencana abahnya ketimbang membantu pekerjaan abahnya tersebut. Segudang
ide-ide cemerlang untuk mengelabui dan menipu lebih mudah membanjiri pikiran
dari pada sepercik alam pikir yang memanusiakan melintasi pikiran.
Usaha pemanusiaan bukanlah usaha
seorang diri, memang betul usaha pemanusiaan itu selalu dimulai dari diri
sendiri, tapi itu juga adalah sebuah usaha “silih” (saling), disinilah falsafah
sunda silih asih, asuh, asah, dimaknai secara mendalam. Usaha memanusiakan diri
dan sesama adalah usaha bersama dimana di dalamnya terkadung nilai-nilai luhur
atas hidup bahwa dalam hidup perlu ada hubungan yang salih mengasihi, saling
mengasuh (mendidik), saling mengasah (menguji), dengan keadaan demikian kita
dapat tumbuh menjadi manusia sebagaimana yang seharusnya manusia itu berada. Cerita
si Kabayan menjadi sebuah sindiran
dan kritikan atas hidup yang tidak saling, sikap yang berjalan masing-masing,
sekalipun pintar, cerdik dll, kalau tidak ada sikap saling, maka tidak akan ada
“juntrungannya”.
Dalam tawanya si Kabayan dia
terbahak-bahak menertawakan kebodohannya, mungkin juga dia menertawakan
kebodohan kita, dan dalam ratap tangisnya ia menangisi “kemapanan” kita yang
kita sembah sebagai dewa, sumber dari
segala kenyamanan kita! Dalam tawa dan tangisnya, si Kabayan mengingatkan kita
bahwa kita perlu banyak belajar untuk melihat dan menilik hidup ini secara
utuh. Kali ini dengan polahnya, dia menyesatkan kita untuk mengembalikan kita
pada sebuah kesadaran!
Bagaimana pun ini hanyalah sebuah
cerita, tidak terlalu penting lagi bagaimana cerita ini berlanjut. Tapi bukanlah
di dalam dunia nyata kita menghadapi situasi yang lebih mengerikan dari pada
ini? Kisah si Kabayan ini hanyalah menjadi sebuah kisah komedi yang barangkali
menghibur pikiran kita. Tapi bagaimanakah dengan hidup kita sekarang? Bukankah
hidup kita sekarang pun menjadi sebuah komedi kehidupan? Di mana sebenarnya
kita menghadapi situasi yang sama dengan berbagi macam manifestasi penindasaran
dan dehumanisasi yang jauh lebih “canggih”
dan bervariasi? Kemanusiaan menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk
diperjuangkan. Kemanusiaan menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk diraih. Hampir
di setiap lini kehidupan kita diperhadapkan dengan berbagai macam penindas
manusia. Malam ini, tulisan ini belum selesai, dan masih mempertanyakan itu
semua..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar