Selasa, 20 Mei 2014

Kabayan Si Penyesat?

[intisari dari cerita si Kabayan ngala suluh]
Haha, apalagi yang dibuat si Kabayan kali ini? Setelah si Kabayan mengajak kita untuk berwaspada diri untuk melihat hidup secara utuh, rupaya tak puas juga ia berkelanan di pikiran kita. Kali ini si Kabayan hendak ngetes kita! bagaimana itu? beginilah ceritanya...

Suatu hari si Kabayan diajak oleh mertuanya si Abah untuk mengambil kayu bakar di hutan. Sore itu Abah mertua Kabayan datang ke rumah Kabayan.
Abah: “Kabayan besok kita ke hutan, kita ambil kayu bakar ya!”
Kabayan : “Siap Bah!”
Begitulah jawab si Kabayan. Padahal sebenarnya si Kabayan malas untuk pergi ke hutan, maka ia berusaha mencari akal untuk menggagalkan rencana ke hutan. Akhirnya terpikirlah suatu ide cemerlang. Sore itu juga si Kabayan bergegas pergi ke pasar membeli macam-macam buah-buahan. Pagi-pagi benar si Kabayan bangun. Sebelum orang lain bangun si Kabayan sudah bangun duluan. Padahal sehari-hari si Kabayan selalu kesiangan. Pagi itu si Kabayan bergegas membawa buah-buah yang kemarin sore ia beli dari pasar ke jalan sepanjang jalan menuju ke hutan. Si Kabayan menyimpan buah-buah tersebut di tempat-tempat tersembunyi secara terpisah, diakhiri dengan senyum kecil si Kabayan berkata dalam hatinya, “Haha, pasti berhasil. Dijamin moal jadi ka leuweung teh [dijamin tidak akan jadi pergi ke hutan]” kemudian si Kabayan kembali ke rumah dan pura-pura tidur.
Pagi itu Abah memanggil si Kabayan, “Kabayan, Kabayan bangun! Ayo kita berangkat!”
Si Kabayan segera bangun dan menjawab, “Iya bah. Ayo!”
Maka berangkatlah Abah dan si Kabayan menuju hutan. Perjalanan belum jauh dari rumah, tiba-tiba si Kabayan berhenti dan mengendus-ngendus. Kata Abah, “Heh Kabayan kenapa kamu?” Jawab si Kabayan, “Sebentar bah, saya mencium ada bau buah sawo nih!” “Ah yang benar kamu Kabayan?” Kata Abah dengan ragu. Lalu si Kabayan bergegas seolah-olah mencari dimana lokasi buah sawo itu berada, ia mengelilingi pohon-pohon dan rerumputan di sekitar jalan itu. masuklah si Kabayan ke salah satu rerumputan yang tinggi. Lalu ia berteriak, “Nah, ini dia sawonya!” Abah yang heran dengan tingkah si Kabayan berusaha melihat dari kejauhan apa yang dilakukan si Kabayan, tidak jelas apa yang dilihat Abah, maka Abah memanggil si Kabayan, “Ke sini Kabayan, apa itu yang kamu bawa?” si Kabayan berlari menghadap Abah dan berteriak-teriak kegirangan, “Abah-Abah, ini saya menemukan sawo. Ayo kita makan dulu!” Abah yang semula ragu kini mula percaya pada si Kabayan. “Wah, rupanya bagus juga penciuman kamu kabayan! Ya sudah kita nikmati dulu saja sawo ini.” maka sejenak mereka berhenti dari perjalanan dan hendak menikmati sawo temuan si Kabayan tersebut. Kemudian tak lama mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Tiba-tiba tak lama setelah itu di tengah jalan si Kabayan berhenti lagi, dan mulai mengendus-endus lagi. Dia berhenti dan mulai mencari lagi. “Apa lagi Kabayan? Tanya Abah. “Sebentar bah, saya mencium ada bau buah nangka.” Jawab si Kabayan. “Ah yang benar kamu kabayan? Coba cari siapa tahu aja benar!” kini si Abah menyuruh si Kabayan untuk mencari. Masuklah si Kabayan ke semak-semak dan ia kembali berteriak, “Nah ini dia nangkanya.” Kemudian nangka itu dibawa ke hadapan Abah. “Bah ini nangkanya, mari kita nikmati dulu!” begitulah kata si Kabayan. Si Abah senang dengan temuan nangka si Kabayan itu, dan kemudian mereka menghentikan perjalanan untuk sejenak melahap nangka temuan si Kabayan itu.
Setelah kenyang oleh sawo dan nangka mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama setelah itu, bahkan masih jauh perjalanan mereka menuju hutan, lagi-lagi si Kabayan berhenti, dan mengedus-endus lagi. Abah kini tak ragu lagi! “Apa lagi yang kamu cium kabayan?” “Ada bau buah mangga nih bah.” Jawab si Kabayan. “Cepat cari, wah kita beruntung nih.” Kata Abah girang dan hendak menantikan temuan buah mangga si Kabayan. Lagi-lagi mereka menghentikan perjalanan untuk sejenak menikmati temuan buah mangga itu.
Kali ini benar-benar Abah sudah terperangkap dengan tipuan si Kabayan. Ketika mereka hendak meneruskan perjalanan tiba-tiba si Kabayan berhenti dan mengendus-endus lagi. Kali ini bukan lagi tidak ragu, tapi si Abah sudah yakin benar dengan penciuman si kabayan, spontan saja Abah bertanya, “Apa yang kamu cium sekarang Kabayan?” si Kabayan berkata, “Sebentar bah, ini baunya agak aneh.” Abah penasaran dan menunggu jawaban selanjutnya dari si Kabayan. “Wah bah, ini bahaya, kalau ini bau Harimau bah!” kata si Kabayan. “Wah, bahaya Kabayan, kalau begitu kita sekarang tidak usah ke hutan, kita pulang saja. Ayo cepat kita pulang Kabayan!” lalu dengan semangat si Kabayan pulang menuju rumah. Rencananya untuk menggagalkan perjalanan berhasil. Demikianlah mereka tidak jadi meneruskan perjalanan mereka, dan mereka kembali ke rumah tanpa hasil apapun.
Begitulah akal bulus si Kabayan menipu mertuanya, si Abah.

Apa maksud dari cerita ini? Cerita ini barangkali adalah sebuah ujian atau sebuah tes dari keprihatinan si Kabayan melihat hidup (dalam artikel saya yang sebelumnya yang berjudul Si Kabayan Manggih Mudun? [untuk melihat klik disini]). Sebuah tes bahwa setiap kita perlu waspada dengan “pudunan” (kenyamanan) yang membuat kita terlena dengan kenyataan yang sesungguhnya. Bahwa hidup perlu untuk betul-betul dihidupi dan bukan hanya menerima “apa kata orang”. Kenyataan yang perlu kita lihat bahwa sebenarnya manusia tidak selalu memanusiakan sesamanya! Kenyataan dimana kita tidak boleh naif melihat dunia! Si Kabayan mengajarkan kita suatu kenyataan yang patut kita sadari betul bahwa diantara kita manusia ada sifat untuk membodohi sesama. Kenyataan inilah yang membawa kita pada sebuah kesadaran dan kewaspadaan bahwa hidup itu sungguh-sungguh perlu dipelajari dan dihayati.
Cerita sederhana ini menerangkan bagaimana pemikiran sunda sejak dulu sudah menyadari bahwa proses pemanusiaan adalah proses yang tidak mudah. Manusia memiliki kecenderungan untuk berkuasa, untuk mengotrol sesamanya. Dan dalam hal ini apa yang melekat pada manusia itu, termasuk akal dan alam pikirnya mungkin saja menjadi alat untuk menjalankan keinginan dan tujuannya tersebut! Berkuasa di sini tidak selalu diartikan memenggan suatu status sosial atau kuasa sebagai pemerintah, tapi jauh dari itu, secara perlahan menyuntikan keyakinan palsu, kebohongan, tipu muslihat dst, adalah bentuk dari kuasa yang tidak terlihat. Penindasan pada nilai-nilai kemanusiaan terdiri dari berbagai macam manifestasi. Pengabaian pada kemanusiaan hendaknya jangan dilihat dari kulitnya saja, tapi juga dilihat dari isinya.
Melalui cerita singkat ini, kita dapat melihat bagaimana kecerdikan dari si Kabayan yang diramu sedemikian rupa menjadi sebuah proses penyuntikan “keyakinan palsu” pada Abah, menyebabkan Abah berada dalam kontrol si Kabayan. Maka demikianlah kata orang Sunda, jika hidup tidak sungguh-sungguh dipelajari sebenarnya kita ini adalah manusia yang mudah untuk dikelabui. Maka selalu berlaku hukum yang cerdik yang menjadi tuan atas yang bodoh. Karenanya dalam pemikiran sunda kembali ditekankan bahwa hidup jangan puas hanya karena “apa kata orang.” Tapi pelajari dan alami! Di sini pemikiran Sunda melihat hubungan antara sebuah teori dan praksis sebagai sebuah kesatuan, dimana teori haruslah terdiri dan teruji dari praksis dan praksis itu yang telah diuji menghasilkan sebuah teori. Sehingga hubungan teori dan praksis menjadi sebuah siklus pemikiran yang selalu berputar dan selalu mengalami pemaknaan baru (revisi) sesuai dengan pendalaman setiap orang secara personal. Yang “bodoh” harus menyadari bahwa ia adalah “bodoh” sehingga mendorongnya untuk belajar dan membawa dirinya “keluar” dari ke-bodoh-annya. Sehingga ia dapat menangkis bahkan melawan kecerdikan orang yang hendak menindasnya. Karenanya sudah menjadi peran dan tugas penting bagi setiap “orang bodoh” untuk bangkit dan menyadari kondisinya agar terbebas dari penindasan menuju pada kemanusiaan yang seharusnya. Kebodohan dalam kesundaan adalah sesuatu yang harus dihindari dan dilawan, karena pada dasarnya kebodohan menjadi sebuah “celah” /kesempatan untuk sebuah penindasan dan pengabaian pada kemanusiaan!

“Bodoh” dalam bahasa sunda memiliki sekurang-kurangnya memiliki dua istilah, 1) bodo katotoloyo (sungguh-sungguh bodoh/bodoh karena tidak bertanya) 2) bodo alewoh ([terlihat]bodoh karena banyak bertanya). Bodoh yang kedua inilah yang disarankan. Artinya merasa “bodoh” itu penting, karena dengan merasa bodoh ada keinginan untuk bertanya, ada keinginan untuk belajar! Setidak-tidaknya dengan bertanya seseorang dapat mengetahui sesuatu yang hendak ia ingin tahu. Tapi jika seseorang tidak punya pertanyaan, tidak tahu apa yang dia tidak tahu, maka tidak akan ada jawaban, ia tidak akan mendapatkan apa-apa! Sangat sederhana. Kesadaran pada hal inilah yang akan menjauhkan setiap individu pada penindasan dan cengkraman dari penguasa.

Sampailah kita pada pertanyaan klasik ini, apakah alasan manusia memiliki sifat untuk menindas/mengontrol sesamanya? Bagi pikiran Sunda, jawabannya sangat sederhana. Karena manusia malas! Manusia malas untuk bekerja, manusia lebih suka mempekerjakan. Manusia malas untuk diajak maju, manusia lebih suka duduk manis di singgasananya! Singgasana si Kabayan adalah tempat tidurnya. Ia lebih cinta tepat tidurnya dari pada sebuah pekerjaan yang jelas-jelas akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi keluarganya. Lebih mudah baginya untuk menggunakan akal dan pikirannya untuk menggagalkan rencana abahnya ketimbang membantu pekerjaan abahnya tersebut. Segudang ide-ide cemerlang untuk mengelabui dan menipu lebih mudah membanjiri pikiran dari pada sepercik alam pikir yang memanusiakan melintasi pikiran.
Usaha pemanusiaan bukanlah usaha seorang diri, memang betul usaha pemanusiaan itu selalu dimulai dari diri sendiri, tapi itu juga adalah sebuah usaha “silih” (saling), disinilah falsafah sunda silih asih, asuh, asah, dimaknai secara mendalam. Usaha memanusiakan diri dan sesama adalah usaha bersama dimana di dalamnya terkadung nilai-nilai luhur atas hidup bahwa dalam hidup perlu ada hubungan yang salih mengasihi, saling mengasuh (mendidik), saling mengasah (menguji), dengan keadaan demikian kita dapat tumbuh menjadi manusia sebagaimana yang seharusnya manusia itu berada. Cerita si Kabayan menjadi sebuah sindiran dan kritikan atas hidup yang tidak saling, sikap yang berjalan masing-masing, sekalipun pintar, cerdik dll, kalau tidak ada sikap saling, maka tidak akan ada “juntrungannya”.

Dalam tawanya si Kabayan dia terbahak-bahak menertawakan kebodohannya, mungkin juga dia menertawakan kebodohan kita, dan dalam ratap tangisnya ia menangisi “kemapanan” kita yang kita sembah sebagai dewa, sumber dari segala kenyamanan kita! Dalam tawa dan tangisnya, si Kabayan mengingatkan kita bahwa kita perlu banyak belajar untuk melihat dan menilik hidup ini secara utuh. Kali ini dengan polahnya, dia menyesatkan kita untuk mengembalikan kita pada sebuah kesadaran!


Bagaimana pun ini hanyalah sebuah cerita, tidak terlalu penting lagi bagaimana cerita ini berlanjut. Tapi bukanlah di dalam dunia nyata kita menghadapi situasi yang lebih mengerikan dari pada ini? Kisah si Kabayan ini hanyalah menjadi sebuah kisah komedi yang barangkali menghibur pikiran kita. Tapi bagaimanakah dengan hidup kita sekarang? Bukankah hidup kita sekarang pun menjadi sebuah komedi kehidupan? Di mana sebenarnya kita menghadapi situasi yang sama dengan berbagi macam manifestasi penindasaran dan dehumanisasi yang jauh lebih “canggih” dan bervariasi? Kemanusiaan menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk diperjuangkan. Kemanusiaan menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk diraih. Hampir di setiap lini kehidupan kita diperhadapkan dengan berbagai macam penindas manusia. Malam ini, tulisan ini belum selesai, dan masih mempertanyakan itu semua..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar