Kabayan..kabayan, dasar si Kabayan tak hentinya ia membuat orang
heran oleh tingkahnya. Ia tidak bisa menerima sesuatu begitu saja. Tidak cukup
rasanya bagi Si Kabayan jika hanya hidup “biasa” seperti orang lain. Bukan si Kabayan jika polahnya tidak membuat
orang lain bertanya, heran, atau mungkin kesal. Entah mengapa Si Kabayan menjadi tokoh fiktif yang
selalu “asik” dan nyentrik dengan
segala yang melekat padanya.
Suatu kegiatan yang barangkali
sangat biasa dilakukan setiap hari. Bahkan mungkin banyak orang tidak
mempermasalahkan itu. tapi, sekali lagi bagi
si Kabayan rupanya jadi perkara yang tidak biasa. Apa itu? itulah dimana
saat si Kabayan “manggih mundun dan manggih nanjak” atau dalam bahasa Indonesia pada
saat si Kabayan menemukan (jalan) turunan
dan tanjakan!
“Lamun hirup kudu jiga si Kabayan. Lamun manggih mudun ulah babari atoh, tapi kudu ceurik sabab engke bakal manggih nanjak. Tapi lamun manggih nanjak kudu bagja, sabab engke bakal manggih mudun.”
Dalam bahasa Indonesia berarti, “Kalau
hidup harus mencotoh si Kabayan. Kalau menemukan jalan menurun jangan cepat
senang, tapi harus menangis sebab nanti akan menemukan tanjakan. Tapi, kalau
menemukan tanjakan harus senang sebab nanti akan menemukan turunan.
Hidup adalah sebuah perjalanan,
barangkali inilah kalimat yang paling mewakili definisi hidup dalam khasanah
berpikir a la Timur. Perjalanan dalam
hidup tidak hanya terdiri dari jalan lurus saja, ia juga terdiri dari berbagai
macam kelok-kelokan, naik-turun,
jatuh-bangun, dst, dan itulah yang membuat hidup itu menjadi berharga untuk
dipelajari. Demikian juga dalam kesundaan, hidup itu dipandang sebagai sesuatu
yang harus dipelajari dan dialami sendiri, bukan hanya “katanya”. Hidup tidak
cukup menerima “apa kata orang”, untuk sampai pada sebuah kemenangan /
kebahagiaan (kaluginaan) seseorang haruslah menemukan identitasnya dalam
hubungannya dengan sekelilingnya, baik itu hubungan dengan dirinya sendiri,
sesama, dan alam di mana ia berada.
Namun demikian, kita adalah manusia
yang sering keliru melihat realitas. Itulah kata Si Kabayan. Kali ini si
Kabayan tidak hanya mengajak kita tertawa untuk sejenak menertawakan hidup ini,
tapi Si Kabayan juga ingin mengajak kita untuk sejenak menangisi hidup ini.
mengapa demian? Apa maksud dari sempalan di atas? Sederhananya, sempalan
singkat ini mengajak khayalak untuk lebih cermat dan berhati-hati dalam menilik
dan menilai hidup. Pandangan dan pengalaman manusia perlu dilihat dari berbagai
sisi secara utuh dalam kesatuan. Maksudnya dalam penilaian dan keputusan etis
dalam hidup kita tidak bisa hanya melihat satu titik peristiwa saja, tapi kita
perlu melihat hidup keterhubungan dari setiap peristiwa. Si Kabayan
mewanti-wanti kita supaya kita jangan tertipu!
Mari berwapada diri...
Hidup secara alamiah terdiri dari
berbagai macam hal yang bisa dirasakan, singkatnya rasa itu terdiri rasa yang
kita senangi dan rasa yang tidak kita senangi. Yang kita senangi sering kita
sebut dengan kebahagiaan (kabagjaan) dan yang tidak kita senangi disebut
penderitaan (kasusahan). Si Kabayan
di sini mengajak kita untuk berwaspada, untuk terlebih dahulu mengamati dan
meneliti bagaimana “jalan” –nya hidup. Bukan hanya menikmati hidup, tapi
melihat bagaimana hidup itu bergulir. Di sini kita melihat bahwa dalam
pemikiran Sunda hidup dipandang sebagai sebuah siklus, seperti sebuah roda yang
berputar dan bukan sebagai sebuah garis lurus, linear. Si Kabayan melalui
cerita singkatnya ini hendak mengajak kita keluar sejenak dari hidup kita yang
sementara ini untuk melihat keutuhannya.
Berwaspada diri berarti di dalamnya
termasuk berwaspada pada kenyamanan yang sedang dialami, barangkali itu adalah
awal dari sebuah penderitaan, kenyamanan yang membawa pada kesulitan dan
kemandekan di masa yang akan datang. Manusia tidak boleh cepat puas dengan
keadaannya sekarang. Jika hari ini ia mengalami berbagai macam kemudahan ia perlu
mengoreksi dirinya, bahkan ia perlu meratapi dirinya, barangkali apa yang di dapatnya
kini akan membawa dirinya dan generasi-generasi di bawahnya pada kesukaran. Karenanya
ketika “si Kabayan manggih mundun” ia
menangis bahkan ia meratap. Bagaimana mungkin seorang yang “bodoh” dapat
melakukan hal itu? coba kita renungkan sejenak. Tentulah ini bukanlah proses
pemikiran yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar bodoh. Sebaliknya,
ketika “si Kabayan manggih nanjak ia bagja”, ia bersemangat untuk mendaki
karena ia percaya setelah ia mendaki, di depan sana ia akan mendapatkan
kelegaan, di depan sana akan ada sebuah turunan yang bisa dia nikmati! Ia meyakini
sebuah proses kehidupan selalu mengalami
pembentukan. Pembentukan itu terdiri dari berbagi macam kesulitan dan
kesukaran, disitulah bukan hanya fisik, tapi semangat hidup, juga nilai-nilai
baik yang terkandung di dalamnya seperti kesabaran, ketabahan, kebaikan, dst
tumbuh dan berkembang yang akhirnya berperan penting dalam memberikan pandangan
terhadap hidup yang jauh lebih luas dan dalam.
Disinilah filosofi Sunda, “Moal meunang perah lamun teu peurih.” [Tidak
akan memiliki kekuatan (bisa/racun) jika tidak mengalami penderitaan] meresap
dan tertanam. Dengan demikian pandangan sunda terhadap hidup adalah “memikirkan-kembali”
dan bukan hanya “memikirkan-ke-depan.” Apa bedanya? Di dalam “memikirkan-ke-depan”
orang biasanya cenderung pada kemajuan saja, etah seperti apa kemajuan itu,
yang penting dipandang lebih baik dari hidup yang sebelumnya, tanpa kembali
mengoreksi kelayakan dan kepantasan dari hidup itu sendiri. Berbeda dengan “memikirkan-kembali”
disini bukan hanya kemajuan, tapi kesadaran pada pemaknaan atas keutuhan hidup
itu sendiri. Kita tidak bisa berpuas diri hanya karena kita merasa, “ah
sekarang saya sudah puas karena saya sudah lebih kaya dari sebelumnya.” Atau lebih
populer atau lebih bijak, dst. Jika demikian kata si Kabayan, “Apa artinya
hidup? hidup bukanlah dari miskin menjadi kaya, bukan dari tidak punya menjadi
punya! Si Kabayan hanya akan meratapi “pudunan” yang sedang kita nikmati kini! Hidup
tidak boleh “mandek” pada satu sisi, kita tidak boleh cepat puas baik itu pada
keadaan politik, ekonomi, sistem atau pada suatu keadaan tertentu yang kita
alami. Hidup itu perlu dipikirkan kembali, hidup itu perlu diwaspadai! Jalannya
hidup itu seperti sebuah roda yang berputar, ada kalanya di atas, ada kalanya
di bawah. Yang mana yang lebih baik? Yang mana yang benar? Tidak ada dikotomi
antara keduanya. Keduanya adalah sebuah kesempatan dan peluang untuk belajar
lebih mengerti hidup ini. keduanya adalah sebuah keutuhan yang tidak bisa
dipisahkan sebagai sebuah proses pemahaman atas betapa berharganya sebuah
kehidupan!
Kabagjaan berbeda dengan
kalugunaan. Kabagjaan adalah sebuah kesenangan, kondisi yang diharapkan
manusia. Hanya mengejar kabagjaan dalam hidup
berarti menikmati hidup yang berat sebelah. Sedangkan kaluginaan adalah sebuah
kecukupan hidup atau hidup yang tak berkekurangan. Dengan kata lain, kabagjaan
berasal dari sebuah pandangan hidup yang mengarahkan diri pada hal-hal yang
disenangi saja, sedangkan kaluginaan berisi sebuah pemaknaan atas keutuhan
hidup dimana di dalamnya terkandung adanya “puduhan” dan “tanjakan” sebagai
sebuah kecukupan hidup. Kecukupan disini berarti sebuah kesadaran pada
pemenuhan identitas diri atas hubungan personal seseorang dengan sekelilingnya.
Karenanya si Kabayan yang dikatakan “bodoh” tidak hanya mengajak manusia untuk
sekadar melakukan dan mengejar apa yang disukai saja, tapi jauh dari itu, Si
Kabayan mengajak kita untuk melihat hidup di dalam kecukupannya, yakni di dalam
keutuhan dan kesatuannya di dalam hubungan-hubungan yang melekat padanya
sebagai sebuah pencapaian pada penemuan identitas diri (mampunya kuring keluar dari kurung). Bagi si Kabayan, singkatnya
hidup ini perlu untuk dikoreksi, tidak boleh dikelabui oleh keadaan. Jika hari
ini kita ada dalam kenyamanan, kata si
Kabayan, merataplah! Ketika kita mengalami tantangan, kata si Kabayan, berbahagialah dan
nikmatilah! Jangan terkecoh! Hidup perlu dibaca kembali.
(y)
BalasHapus