Kamis, 15 Mei 2014

Menertawakan Hidup Bersama si Kabayan


Bagaimana orang Sunda melihat kehidupan? Itulah pertanyaan yang muncul dipikiranku, mungkin saat menganjukan pertanyaan ini keningku agak berkerut, dengan wajah yang serius. Seandainya pertanyaan itu diajukan pada tokoh fiktif yang sangat populer dalam cerita Sunda, yaitu si Kabayan. Mungkin Kabayan hanya akan tertawa. Dan saya tidak akan mendapatkan jawaban seperti apa yang saya harapkan! Tapi apakah itu berarti bahwa pertanyaan itu tidak akan terjawab? Belum tentu, mungkin tawanya adalah sebuah jawaban yang dapat meneduhkan pikiranku dan membuatku tertawa juga. Bagaimana sebuah tawa dapat menuntaskan pertanyaan ini? Mari kita simak!

#
Suatu kali, si Kabayan disuruh oleh neneknya untuk mengambil “tutut” (semacam keong sawah = bisa dijadikan makanan, dimasak dengan dibumbui beberapa macam rempah-rempah).  
Kata si Nenek, “Heh Kabayan, cepat bangun, jangan tidur terus! Dari pada tidur cepat kamu ambil tutut di sawah, nenek sekarang mau siapkan bumbunya”
Kabayan, “Iya mak.”
Maka berangkatlah Kabayan menuju sawah dalam keadaan yang masih sempoyongan karena masih mengantuk. Ketika si Kabayan melihat sawah maka ia merasa takut untuk memijak sawah itu. Kenapa ia takut? Rupaya ia takut karena ia melihat pantulan langit pada sawah itu. Karena ada pantulan langit ia berpikir, “wah bahaya nih, rupanya sawahnya ini sangat dalam.” Maka dalam pikirnya tidak mungkin untuk mendapatkan tutut itu dengan mudah. Merasa bahwa sawah itu dalam, dan si Kabayan takut untuk mimijak sawah itu, maka ia pergi ke kebun untuk mencari leuget (semacam perekat dari getah pohon biasanya digunakan untuk menangkap burung), setelah ia mendapatkan leuget, Kabayan merekatkan leuget itu pada sebatang bambu, dengan maksud untuk memancing tutut. Dari pagi Si Kabayan memacing tutut, tapi ia hanya mendapat tidak lebih dari lima buah tutut, itu pun hanya kebetulan saja. Bagaimana mungkin tutut dipancing dengan leuget? Tutut tidak akan mempan untuk dileuget, tiap kali si Kabayan mengarahkan bambu yang sudah dileuget itu, selalu gagal oleh karena tutut memiliki semacam lendir yang licin. Dari pagi sampai sore si Kabayan memancing tutut, tapi ia hanya mendapatkan lima buah saja. Sementara di rumah si nenek sudah kesal menunggu si Kabayan yang tidak pulang. Akhirnya si nenek menyusul si Kabayan ke sawah.
Kata si Nenek, “Heh Kabayan gimana sudah dapat tututnya?
Si Kabayan, “Belum mak, masih sangat sedikit, ternyata susah ngambil tutut itu. Dari pagi sampai sore belum dapat-dapat juga mak.”
Nenek, “Memangnya bagaimana kamu ngambilnya?”
Si Kabayan, “Lihat tuh mak, sawahnya dalam sekali, tidak mungkin saya kesitu, nanti saya tenggelam.”
Si Nenek melihat si Kabayan, “Euh, pantes.” Si nenek jengkel, lalu mendorong si Kabayan ke sawah. Cemplung, si Kabayan terjatuh di sawah.
Si Kabayan, “eh, ternyata dangkal.” Si Kabayan tertawa. Si nenek kesal, lalu meninggalkan si Kabayan “menikmati” kebodohannya.

Itulah sekilas dari salah satu cerita si Kabayan. Cerita si Kabayan adalah Sempalan dari cerita Sunda yang dimaksudkan menyampaikan pesan keSundaan. Mungkin cerita ini terdengar sangat konyol dan lucu, yakni bagaimana sikap hidup si Kabayan yang begitu nyentrik dengan caranya besikap dan caranya bertutur.  Cerita ini sering diceritakan tanpa sebuah kesimpulan yang jelas, seolah penutur cerita ingin membiarkan kita yang mendengarkan cerita untuk mencari sendiri makna dari isi cerita itu sendiri. Mengapa demikian? Jadi apa makna dari cerita ini? Di sinilah kita dapat menelurusi salah satu garis besar tentang pemikiran urang Sunda, berikut kekhasan dan keunikannya secara umum.

Sunda si Pencerita
Seperti halnya dengan pemikiran Timur lainnya, pemikiran Sunda pun banyak dituangkan melalui cerita. Karena sifatnya yang tidak ingin nampak, maka banyak sekali dari cerita Sunda yang tidak jelas asal-usulnya atau tidak disebut penulis/pengarangnya. Cerita itu hanya diturunkan dari generasi ke generasi secara turun-temurun. Namun apa yang menjadi kekhasan dari sempalan cerita si Kabayan ini? seperti yang saya jelaskan diartikel saya sebelumnya, untuk dapat melihat pemikiran urang Sunda, kita tidak boleh melepaskan pandangan kita dari dimensi-dimensi subjek yang melekat padanya (abdi, urang, aing, kaula, kuring, dst). Di sini kita dapat melihat bagaimana orang watak orang Sunda itu. Sekalipun sebenarnya orang Sunda memiliki penghayatan yang sangat dalam tentang hidup yakni sampai ke tahap penemuan jati diri yaitu melalui terlepasnya kuring  (saya) dari kurung (batasan indrawi), namun dalam penuturan dan penyampaian pikiran (dalam masyarakat umum) selalu mengalami banyak “penyederhanaan”, disinilah si kuring, meredam sedemikian rupa dirinya menjadi abdi bagi masyarakat. Maka, pikiran (ide/gagasan) itu tidaklah menjadi kebenaran mutlak yang kaku, tapi menjadi suatu penerangan yang diusahakan dapat mencerahkan pemikiran dimana ia berada. Pikiran itu dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah cerita segar yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum sebagai sebuah “sharing” atas kehidupan. Di sini setiap individu saling berbagi tentang pandangan-pandangannya. Bagaimana penuturan cerita itu sehingga dapat dikatakan berbagi ide?

Penuturan cerita Sunda seringkali dibalut dengan nuansa “bodor” (lucu), termasuk dalam cerita si Kabayan yang sekarang sedang kita bahas ini. Mengapa “bodor”? inilah ciri khas budaya Sunda yang tidak suka menggurui, sekalipun bisa atau mampu, tidak seharusnya pengetahuan atau ide itu bersifat memaksa dan mendikte. Alangkah lebih baik jika pikiran itu dapat “menghibur”, membuka pikiran dan mengajak khalayak umum untuk memikirkan dan merenungi pikiran itu bersama-sama. Dengan kata lain, alangkah lebih baik jika pikiran itu dinikmati bersama-sama dalam kesejajaran, kesetaraan, dan kesederhaan. “Menghibur” di sini berarti memberikan kesegaran, kekuatan, dan kelegaan bukan sekadar membuat orang tertawa terbahak-bahak. Menghibur di sini berarti memberikan pandangan baru yang tidak memaksa dan barangkali dapat dijadikan alternatif dalam melihat hidup.

Bagi orang Sunda, hidup memang sangatlah rumit untuk dipelajari, tentu mempelajari hidup bukanlah suatu usaha yang mudah, ada banyak hal yang tidak kita ketahui, tapi bukan berarti kita harus hidup dalam ketakutan, kegelihan dan ketegangan. Justru adanya hidup itu sendiri adalah sesuatu yang dalam dan luas, yang seringkali kita sebagai manusia keliru untuk melihatnya. Dalam keadaan ini ada baiknya sesekali kita mentertawakan diri kita. Mengapa demikian? Dalam pemikiran Sunda, kita patut menyadari bahwa manusia di dalam pemahaman dan pandangan hidupnya sangatlah terbatas namun seringkali merasa merasa tahu, dan setelah ia mendalaminya sering juga ia keliru. Dan dengan segera kita menyadari, “Oh masih jauh rupanya yang saya pahami ini, masih banyak yang saya belum tahu.” Ini dipandang bukan sebagai sebuah kekecewaan dimana ia berputus asa, tapi sebagai penghiburan yang membawa pada kesadaran hidup yang jauh lebih jelas. “Oh iya.” “Ya Saya masih harus banyak belajar.” “Hehe, ternyata Cuma segitu tuh pikiran saya.” Itulah barangkali kata-kata yang terlintas. Maka dalam penyampaian pikiran, orang Sunda sangat berhati dan menjaga dirinya dari kekecewaan. Suatu kesadaran bahwa suatu pengetahuan selalu dapat dikoreksi, karenya kita tidak dapat mengakui diri sebagai sudah bisa. Menghindari diri dari kekecewaan atas keterbatasan pengetahuan yang kini belum ia ketahui. Menghindari diri dari celaan atas kekeliruan pemikiran yang mungkin terjadi. Karenanya sebelum celaan yang rill itu terjadi, alangkah lebih bijak jika kita sekarang ini mulai menyadarinya. Alangkah lebih baik jika kita tertawa bersama. Mentertawakan diri tidaklah sama dengan mencela diri. Mentertawakan diri di sini berarti sebuah kesadaran pada keterbatasan kita dalam memahami realitas hidup. bahwa hidup memang perlu dipelajari, tapi juga hidup itu harus disyukuri. Dengan demikian kita menjadi manusia yang mawas diri dan seimbang.
Suatu pikiran yang dituangkan dalam sebuah cerita dapatlah menjadi pikiran yang mendukung pikiran sebelumnya, meruntuhkan pemikiran sebelumnya, atau pun menyindir. Ada pun semua penyampaian itu disajikan secara segar melalui cerita boboran tersebut. Karenanya pemikiran Sunda dapat dikatakan sebagai pemikiran yang nyeleneh dan korektif. Bagaimana sebuah cerita dapat dikatakan sebagai sebuah penegasan, penolakan, dan sindiran bahkan dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang korektif?
Kita dapat melihat latar belakang penuturan cerita boboran itu melalui pandangan hidup orang Sunda berikut ini,

Tata, Titi, Surti, Ati-ati
Orang Sunda seperti yang sudah saya sejelaskan sebelumnya adalah orang yang gemar “ngulik hirup”, pengulikan itu terjadi sepanjang proses kehidupan. Ngulik dapat dimana saja, dan ari apa saja yang ada di alam ini. berikut ini salah satunya,

Kata tata = dapat diartikan sebagai sebuah aturan kesopanan, kata ini berasal dari kata semut dalam bahasa Sunda tataman yang berati semut hitam. Ada apa dengan semut hitam? Semut merupakan serangga yang sangat rajin, tapi bukan hanya itu, ia juga adalah serangga yang sangat teratur, setiap ekor semut mengerti secara spesifik tugas dan pekerjaannya dan ia tidak pernah menyimpang pada tugas dan pekerjaan lain, selain itu semut pun memiliki kerja sama atau ikatan kekerabatan yang sangat baik. Semut saling memberi sinyal (seperti bersalaman) bukan hanya sebagai basa basi, tapi sebagai penghubung dan sarana komunikasi yang membantunya menjalankan segala proses kehidupannya. Bagi orang Sunda, sifat seperti ini harus dicontoh oleh manusia. Kemanapun dan bagaimana pun manusia itu dalam tugas dan pekerjaannya, haruslah tetap menjaga tata. Artinya tidak boleh lupa dengan sesama. Sesibuk apapun ketika bertemu dengan sesama haruslah saling memberi hormat dan salam satu dengan yang lain. Maka jelas disini, dalam penuangan pikiran itu sendiri, hendaknya tidak keluar dari tata. Sekalipun pikiran,ide atau gagasan itu dianggap benar dan baik, tidaklah harus mengabaikan rasa hormat. Tidaklah harus mengabaikan diri dari masyarakat karena merasa benar. Tapi sebaliknya hendaknya saling memberikan sinyal satu dengan yang lain, supaya yang nyasar kembali ke jalan yang benar sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Karenanya penyampaian pikiran melalui cerita bodor, dianggap sebagai cara yang baik untuk berbagi ide dan pandangan hidup.

Titi = berarti tertur dan tidak bertabrakan, berasal dari kata “titingi” dalam bahasa indonesia disebut serangga kaki seribu. Ada apa dengan serangga ini? yang paling mencolok dari serangga ini adalah kakinya yang sangat banyak, tapi jika diperhatikan kaki sedemikian banyak kok jalannya lambat? Tapi kalau diperhatikan, pernahkah kita melihat kaki seribu keleseleo, terkilir, atau saling menambrak antara kakinya itu? nah disinilah uniknya, hidup itu harus punya banyak langkah, banyak saudara, banyak teman, banyak kemampuan, tapi semua itu harus teratur. Setiap hal selalu berhubungan, dan hubungan itu haruslah dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun hidup itu harus dihayati dan dinikmati perlahan-lahan, dalam menjalani hidup kita hendaknya tidak boleh terburu-buru, sebaliknya hidup itu adalah sesuatu yang harus dihayati secara luas dan dalam. Sekalipun kecil dan lambat langkah kita tapi dengan keteratun dan keuletan lama-lama sampai juga pada tujuan. Karenanya penyampaian pikiran melalui bodor dapat menjadi cara penuturan yang dianggap halus, luwes, dalam penyampaian ide dan pandangan hidup.

Surti = berarti hayati (batiniah), adapun hidup ini kita diperhadapkan dengan keadaan dan kebutuhan materi, namun hidup tidak hanya berarti pencapaian harta saja. Manusia harus benar-benar mengerti dirinya. Nilai yang melekat padanya bukan pada harta yang ia miliki. Manusia perlu belajar, manusia perlu mengisi dirinya dengan pengehuan dan tidak hanya berfokus pada kepuasaan badani. Manusia harus mampu memberikan nilai positif pada apa yang ada di sekelilinya di mana ia dilahirkan dan hidup. Manusia hendaknya mau berbagi di dalam hubungannya dengan sesama dan alam. Karenanya pemikiran itu hendaknya tidak hanya dinikmati sendiri, tapi juga patut diceritakan, melalui cerita bodor itulah manusia belajar untuk saling menghayati hidupnya satu dengan yang lain.

Ati-ati = berarti berhati-hati. Filosofi Bunglon dalam pandangan orang Sunda sering kali disalah artikan. Ini tidaklah berarti mencari keuntungan sendiri, atau pikiran dan hidup yang berubah-ubah hanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tapi bermakna lebih luas dari pada itu. ati-ati merujuk pada hewan Bunglon (dalam bahasa Sunda Londok). Jika dilihat dari cara hidup Bunglon kita melihat adanya hidup yang yang sangat berhati, bahkan seperti tidak ingin terlihat, dan berusaha bersembunyi. Bukan hanya berhati-hati untuk dirinya, tapi juga hati-hati dengan alam sekelilingnya. Ia berjalan mengendap-ngendap, seolah takut jatuh, ditempat hitam ia mejadi hitam, ditempat hijau ia menjadi hijau. Ia pun tidak serakah, ia hanya makan seperlunya saja. Maka hidup itu harus menjadi hidup yang penuh dengan kehati-hatian, bukan hanya berfokus pada diri, tapi bagaimana kita berhati-hati di dalam menjaga tata, titi, surti yang ada. Sebelum jatuh alangkah lebih bijak kita berhati-hati terlebih dahulu. Ada baiknya kita memberikan ruang untuk keraguan agar kita selalu waspada dan selalu belajar, ada baiknya memiliki ketidakmampuan agar kita selalu rendah hati. Jadi segala yang dianggap kurang atau tidak baik tidaklah selalu bermakna tidak baik atau tidak perlu. Semua dapat menjadi baik jika kita mampu mengolahnya dengan baik. Demikian juga sebaliknya sesuatu yang baik dapat menjadi tidak baik jika kita tidak bisa mengolahnya. Maka dalam penyampainan pikiran pun kita perlu mengolahnya dengan baik agar itu dapat diterima dan bermanfaat. Maka olahan pikiran dalam bentuk cerita bodor dapat menjadi alternatif yang baik untuk memberikan kesegaran dan “penghiburan”, tapi juga tetap dapat memberikan koreksi dan kritik atas hidup.

Dengan demikian, pemahaman atas hidup bukan hanya pandangan saya dan milik saya. Melainkan menjadi pandangan bersama dan milik bersama. Ini bukan oleh saya, juga bukan untuk saya, ia berusaha bersembunyi seperti Bunglon, hendak berhati-hati, mari kita pikirkan dan nikmati bersama begitulah kata orang Sunda. Ya, begitulah ceritanya, menurut yang saya pahami, ia hendak berkomunikasi memberikan sinyal seperti seekor tataman. Mari kita renungi dan kerjakan bersama,  ia mengajak berjalan seperti seekor titingi.  Itulah maksud dari si Sunda ngabodor, mengajak anda untuk bicara, mendengar, berbagi, dan setara. Tiada ada yang lebih hebat dari kita semua, saya dan anda adalah orang yang sama. Sama-sama belajar, jika ada yang keliru dan salah, ya marilah sejenak kita tertawa, marilah kita mentertawakan hidup kita yang “bodoh” ini. Dan marilah kita terus belajar untuk melihat hidup ini dengan cara yang lebih baik.

Ada apa dengan tawa si Kabayan?
Kali ini Si Kabayan mentertawakan kebodohannya, mungkinkah ia juga mentertawakan kita? Ya, barangkali begitu. Dia mengajak kita mentertawakan setiap pikiran manusiawi kita yang terbatas. Dia hendak menyindir kita dengan sikapnya. Saya sendiri tidak tahu apa dia betul-betul bodoh atau berpura-pura bodoh agar kita malu. Tapi, kasus nyempungnya Si Kabayan di sawah memang menjadi kasus yang cukup memalukan. Bagaimana mungkin seorang orang desa nyemplung di sawah karena takut melihat bayangan langit? Bukankah sudah tidak asing bagi orang desa untuk bersentuhan dengan sawah, kebun dan lingkungan sekitarnya? Mari kita renungankan sejenak! Saya rasa, jika kita cermat melihat ini tentulah ini menjadi hal yang tidak biasa,hal yang ganjil dan aneh.

Dengan sikap dan pemikirannya, si Kabayan seolah menentang dan menyindir pemikiran, tak jarang ia juga menjadi cerminan dari kebodohan kita. Kali ini apa yang dia mau? Apakah ini berupa sindiran? Atau cerminan? Entah apalah itu. Saya coba berdiskusi dengan beberapa kolot Sunda untuk mengerti hal ini. Entah itu sebagai sindiran atau cerminan.  Sikap Kabayan kali ini berisi sebuah pelajaran penting bagi kita bahwa kita sebagai individu di tengah-tengah masyarakat seringkali terkurung dengan pikiran kita sendiri. Kita tidak sungguh-sungguh sadar akan hidup ini. Barangkali pikiran kita terlalu melalangbuana kesana-kemari tapi sebenarnya kita tidak pergi kemana-mana. Ironis, di satu-sisi pikiran kita diisi dan dipenuhi oleh berbagai macam bayangan, tapi kita tidak sungguh-sungguh memijak kehidupan ini. seperti halnya si Kabayan yang melihat pantulan langit, dan ia merasa takut memijak sawah. Barangkali itulah kita ketika kita tidak sungguh-sungguh menghidupi hidup ini. masih mengantuk, masih sempoyongan, belum sepenuhnya bangun, sehingga segala tindakan menjadi tindakan kebodohan, solusi hidup seakan terlihat pintar tapi sia-sia. Apa gunanya mencari leugeut untuk menangkap tutup? Bukankah itu usaha sia-sia? Tidak lebih baik jika diambil dengan tangan saja? Itulah kita sebagai manusia. kita seringkali bersembunyi dari kenyataan hidup. Bersembunyi dengan alat (leugeut dan bambu), kita menyalahkan segala perangkat yang melekat pada diri kita, tanpa kita terjun langsung melihat dan menapaki hidup ini. Jika si Kabayan terkelabui oleh pandangannya yang masih mengantuk, barangkali kita hari ini juga demikian. Barangkali kita masih terjebak dengan kebiasaan-kebiasan indrawi kita, barangkali kita terjebak dalam kebiasaan pemikiran-pemikiran kita. jika si Kabayan menyalahkan leuget dan bambunya yang tidak berhasil mengambil tutut, mungkin kita juga demikian. Kita menyalahkan seseorang, sekelompok orang, institusi, sistem atau entah apalah itu, tanpa kita tidak pernah memijakan kaki kita pada realitas yang sebenarnya? Maka jelaslah tawa Si Kabayan kali ini, mengajak saya (barangkali kita) untuk melihat hidup ini dengan sesadar-sadar dan sepantas-pantasnya.

Hidup dimulai dengan melakukan sesuatu yang mungkin, dan bukan melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Apa yang dilakukan si Kabayan adalah suatu usaha yang hampir-hampir mustahil. Padahal yang dilakukannya seharusnya adalah sesuatu yang sangat mudah karena itu sangatlah sederhana. Apa yang diambil juga bukanlah emas atau permata yang memang susah untuk ditemukan, tapi hanya “tutut” sawah, jenis keong yang berserakan di pesawahan. “Tutut” bisa jadi makanan bagi orang yang tidak memiliki “Balong” (kolam ikan), makanan bagi mereka yang tidak memiliki ikan untuk dipancing di kolam. Dengan kata lain, tutut itu berserakan untuk siapapun yang ingin mengambilnya, ia ada dari alam, dan tidak seorang pun menanamnya, di satu sisi ia hidup sebagai hama karena ia memakan padi, tapi di sisi lain ia juga dapat jadi makanan bagi mereka yang mampu mengolahnya.

Ketika sebuah pandangan pemikiran tidak sungguh-sungguh diterapkan/diuji ulang dalam praksis kehidupan itu adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Jika sebuah pemikiran hanya menjadi kebenaran sendiri, maka ia tidak ada paedahnya, hanya akan menjadi tertawaan publik saja. Jika sebuah pandangan kehidupan, etah apa itu, mungkin dapat dikatakan doktrin atau dogma yang hanya berkoar-koar dikubunya saja bahkan ia sendiri tidak akan kenyang, ia sendiri tidak akan makan. Ia sendiri akan lapar, karena jelas tidak ada kerjanya. Jangankan makan ikan, makan tutut pun yang mudah sekali di dapat, lambang dari masyarakat biasa, tidak akan dapat. Tidaklah ini adalah suatu hidup yang bahaya? Tidaklah ini menjadi gaya hidup yang tidak sehat? Bahkan makan hama sawah pun tidak bisa? Inilah ironisnya manusia. karenanya pikiran itu haruslah dapat diuji dalam kehidupan secara nyata. Hidup itu bukan hanya bercerita yang jauh, tapi juga kini dan sekarang. kita memang ingin mengapai langit, tapi ingat kita sekarang menyentuh bumi. Hidup itu haruslah bersesuaian dengan alam dimana kita berada (gaya hidup Bunglon).


Hidup bukanlah masalah salah atau benar saja, tapi hidup terdiri dari komponen-komponen yang perlu untuk dihubungkan. Pandangan atas hidup haruslah dilihat kesatuan dan keutuhannya dalam realitas nyata melalui kontak langsung dengan alam. Sebuah pikiran dan pandangan saja tidak akan mengubah sebuah tatanan kehidupan. Maka setiap pikiran dan pandangan dunia haruslah sampai pada tindakan atau dalam bahasa Sunda disebut “lampah”. Melalui lampah inilah akhirnya pikiran atau gagasan itu diuji kelayakannya, apakah itu pantas untuk dihidupi atau tidak. Singkatnya pandangan atas hidup harus relevan! Barangkali ada kalanya kita seperti si Kabayan, terlalu jauh dengan pandangan sendiri tanpa melihat realitas nyata, akhirnya kita didorong hingga tercebur, dan akhirnya kita tahu. “ehh ternyata dangkal.” Sejenak kita mentertawakan diri kita karena rupaya setelah dicemplungkan dalam kenyataan semua tak seperti bayangan kita. Kiranya semua pengalaman itu tidak membuat diri kita berputus asa, tapi seyogyanya membuat kita semakin menyadari bahwa masih banyak hal yang tidak kita ketahui, masih banyak kekeliruan yang harus kita cermati dan kita belajar untuk mensyukuri serta menghayati hidup ini sebagai sebuah perjalanan dan perbelajaran dimana kita hidup dalam sebuah hubungan-hubungan penting yang patut dijaga dan dipelihara. Keutuhan hidup dimulai dari kesadaran mengenai berbagai macam keterbatasan, keterbatasan itu pun adalah sebuah realitas yang nyata. Karenanya kita selalu diingatkan pada kebodohan dan kekeliuan kita, bagaimana si Kabayan melihat ini? bukan sebagai sebuah kegagalan! Tapi dia hanya tertawa, bagaimana si Kabayan melihat kita hari ini? mungkin dia juga hanya tertawa. Dalam pandangan melihat hidup dia hanya ingin mengajak kita tertawa bersamanya. Marilah sejenak kita menertawakan hidup bersama si Kabayan! haha

2 komentar: