Bagaimana orang Sunda melihat
kehidupan? Itulah pertanyaan yang muncul dipikiranku, mungkin saat menganjukan
pertanyaan ini keningku agak berkerut,
dengan wajah yang serius. Seandainya pertanyaan itu diajukan pada tokoh fiktif
yang sangat populer dalam cerita Sunda, yaitu si Kabayan. Mungkin Kabayan
hanya akan tertawa. Dan saya tidak akan mendapatkan jawaban seperti apa yang
saya harapkan! Tapi apakah itu berarti bahwa pertanyaan itu tidak akan
terjawab? Belum tentu, mungkin tawanya adalah sebuah jawaban yang dapat meneduhkan
pikiranku dan membuatku tertawa juga. Bagaimana sebuah tawa dapat menuntaskan
pertanyaan ini? Mari kita simak!
#
Suatu kali, si Kabayan disuruh oleh neneknya untuk mengambil “tutut” (semacam keong sawah = bisa
dijadikan makanan, dimasak dengan dibumbui beberapa macam rempah-rempah).
Kata si Nenek, “Heh Kabayan, cepat bangun, jangan tidur
terus! Dari pada tidur cepat kamu ambil tutut
di sawah, nenek sekarang mau siapkan bumbunya”
Kabayan,
“Iya mak.”
Maka berangkatlah Kabayan menuju sawah dalam keadaan yang
masih sempoyongan karena masih mengantuk. Ketika si Kabayan melihat sawah maka ia merasa takut untuk memijak sawah itu. Kenapa ia takut? Rupaya ia takut
karena ia melihat pantulan langit pada sawah itu. Karena ada pantulan langit ia
berpikir, “wah bahaya nih, rupanya sawahnya ini sangat dalam.” Maka dalam
pikirnya tidak mungkin untuk mendapatkan tutut
itu dengan mudah. Merasa bahwa sawah itu dalam, dan si Kabayan takut untuk
mimijak sawah itu, maka ia pergi ke kebun untuk mencari leuget (semacam perekat dari getah pohon biasanya digunakan untuk
menangkap burung), setelah ia mendapatkan
leuget, Kabayan merekatkan leuget itu pada sebatang bambu, dengan
maksud untuk memancing tutut. Dari
pagi Si Kabayan memacing tutut, tapi ia hanya mendapat tidak
lebih dari lima buah tutut, itu pun
hanya kebetulan saja. Bagaimana mungkin tutut
dipancing dengan leuget? Tutut
tidak akan mempan untuk dileuget, tiap kali si
Kabayan mengarahkan bambu yang sudah dileuget itu, selalu gagal oleh karena
tutut memiliki semacam lendir yang
licin. Dari pagi sampai sore si Kabayan
memancing tutut, tapi ia hanya
mendapatkan lima buah saja. Sementara di rumah si nenek sudah kesal menunggu si Kabayan yang tidak pulang. Akhirnya
si nenek menyusul si Kabayan ke
sawah.
Kata si Nenek, “Heh Kabayan gimana sudah dapat tututnya?
Si
Kabayan, “Belum mak, masih sangat sedikit, ternyata susah ngambil tutut itu. Dari pagi sampai sore belum
dapat-dapat juga mak.”
Nenek, “Memangnya bagaimana kamu
ngambilnya?”
Si
Kabayan, “Lihat tuh mak, sawahnya dalam sekali, tidak mungkin saya kesitu,
nanti saya tenggelam.”
Si Nenek melihat si Kabayan, “Euh, pantes.” Si nenek
jengkel, lalu mendorong si Kabayan ke
sawah. Cemplung, si Kabayan terjatuh
di sawah.
Si
Kabayan, “eh, ternyata dangkal.” Si
Kabayan tertawa. Si nenek kesal, lalu meninggalkan si Kabayan “menikmati” kebodohannya.
Itulah sekilas dari salah satu
cerita si Kabayan. Cerita si Kabayan adalah Sempalan dari cerita Sunda
yang dimaksudkan menyampaikan pesan keSundaan. Mungkin cerita ini terdengar
sangat konyol dan lucu, yakni bagaimana sikap hidup si Kabayan yang begitu nyentrik
dengan caranya besikap dan caranya bertutur.
Cerita ini sering diceritakan
tanpa sebuah kesimpulan yang jelas, seolah penutur cerita ingin membiarkan kita
yang mendengarkan cerita untuk mencari sendiri makna dari isi cerita itu
sendiri. Mengapa demikian? Jadi apa makna dari cerita ini? Di sinilah kita
dapat menelurusi salah satu garis besar tentang pemikiran urang Sunda, berikut
kekhasan dan keunikannya secara umum.
Sunda
si Pencerita
Seperti halnya dengan pemikiran
Timur lainnya, pemikiran Sunda pun banyak dituangkan melalui cerita. Karena
sifatnya yang tidak ingin nampak, maka banyak sekali dari cerita Sunda yang
tidak jelas asal-usulnya atau tidak disebut penulis/pengarangnya. Cerita itu
hanya diturunkan dari generasi ke generasi secara turun-temurun. Namun apa yang
menjadi kekhasan dari sempalan cerita si
Kabayan ini? seperti yang saya jelaskan diartikel saya sebelumnya, untuk
dapat melihat pemikiran urang Sunda, kita tidak boleh melepaskan pandangan kita
dari dimensi-dimensi subjek yang melekat padanya (abdi, urang, aing, kaula,
kuring, dst). Di sini kita dapat melihat bagaimana orang watak orang Sunda itu. Sekalipun sebenarnya orang Sunda memiliki penghayatan
yang sangat dalam tentang hidup yakni sampai ke tahap penemuan jati diri yaitu
melalui terlepasnya kuring (saya) dari
kurung (batasan indrawi), namun dalam penuturan dan penyampaian pikiran (dalam
masyarakat umum) selalu mengalami banyak “penyederhanaan”, disinilah si kuring,
meredam sedemikian rupa dirinya menjadi abdi bagi masyarakat. Maka, pikiran
(ide/gagasan) itu tidaklah menjadi kebenaran mutlak yang kaku, tapi menjadi
suatu penerangan yang diusahakan dapat mencerahkan pemikiran dimana ia berada.
Pikiran itu dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah cerita segar yang dapat
dinikmati oleh masyarakat umum sebagai sebuah “sharing” atas kehidupan. Di sini
setiap individu saling berbagi tentang pandangan-pandangannya. Bagaimana
penuturan cerita itu sehingga dapat dikatakan
berbagi ide?
Penuturan cerita Sunda seringkali
dibalut dengan nuansa “bodor” (lucu), termasuk dalam cerita si Kabayan yang sekarang sedang kita
bahas ini. Mengapa “bodor”? inilah ciri khas budaya Sunda yang tidak suka
menggurui, sekalipun bisa atau mampu, tidak seharusnya pengetahuan atau ide itu
bersifat memaksa dan mendikte. Alangkah lebih baik jika pikiran itu dapat
“menghibur”, membuka pikiran dan mengajak khalayak umum untuk memikirkan dan
merenungi pikiran itu bersama-sama. Dengan kata lain, alangkah lebih baik jika
pikiran itu dinikmati bersama-sama dalam kesejajaran, kesetaraan, dan
kesederhaan. “Menghibur” di sini berarti memberikan kesegaran, kekuatan, dan
kelegaan bukan sekadar membuat orang tertawa terbahak-bahak. Menghibur di sini
berarti memberikan pandangan baru yang tidak memaksa dan barangkali dapat
dijadikan alternatif dalam melihat hidup.
Bagi orang Sunda, hidup memang
sangatlah rumit untuk dipelajari, tentu mempelajari hidup bukanlah suatu usaha
yang mudah, ada banyak hal yang tidak kita ketahui, tapi bukan berarti kita
harus hidup dalam ketakutan,
kegelihan dan ketegangan. Justru adanya hidup itu sendiri adalah sesuatu yang
dalam dan luas, yang seringkali kita sebagai manusia keliru untuk melihatnya. Dalam
keadaan ini ada baiknya sesekali kita mentertawakan diri kita. Mengapa
demikian? Dalam pemikiran Sunda, kita patut menyadari bahwa manusia di dalam
pemahaman dan pandangan hidupnya sangatlah terbatas namun seringkali merasa merasa
tahu, dan setelah ia mendalaminya sering juga ia keliru. Dan dengan segera kita
menyadari, “Oh masih jauh rupanya yang saya pahami ini, masih banyak yang saya
belum tahu.” Ini dipandang bukan sebagai sebuah kekecewaan dimana ia berputus
asa, tapi sebagai penghiburan yang membawa pada kesadaran hidup yang jauh lebih
jelas. “Oh iya.” “Ya Saya masih harus banyak belajar.” “Hehe, ternyata Cuma
segitu tuh pikiran saya.” Itulah barangkali kata-kata yang terlintas. Maka
dalam penyampaian pikiran, orang Sunda sangat berhati dan menjaga dirinya dari
kekecewaan. Suatu kesadaran bahwa suatu pengetahuan selalu dapat dikoreksi,
karenya kita tidak dapat mengakui diri sebagai sudah bisa. Menghindari diri
dari kekecewaan atas keterbatasan pengetahuan yang kini belum ia ketahui.
Menghindari diri dari celaan atas kekeliruan pemikiran yang mungkin terjadi.
Karenanya sebelum celaan yang rill itu terjadi, alangkah lebih bijak jika kita
sekarang ini mulai menyadarinya. Alangkah lebih baik jika kita tertawa bersama.
Mentertawakan diri tidaklah sama dengan mencela diri. Mentertawakan diri di sini
berarti sebuah kesadaran pada keterbatasan kita dalam memahami realitas hidup.
bahwa hidup memang perlu dipelajari, tapi juga hidup itu harus disyukuri.
Dengan demikian kita menjadi manusia yang mawas diri dan seimbang.
Suatu pikiran yang dituangkan dalam
sebuah cerita dapatlah menjadi pikiran yang mendukung pikiran sebelumnya,
meruntuhkan pemikiran sebelumnya, atau pun menyindir. Ada pun semua penyampaian
itu disajikan secara segar melalui cerita boboran tersebut. Karenanya pemikiran
Sunda dapat dikatakan sebagai
pemikiran yang nyeleneh dan korektif.
Bagaimana sebuah cerita dapat dikatakan
sebagai sebuah penegasan, penolakan, dan sindiran bahkan dikatakan sebagai sebuah pemikiran yang
korektif?
Kita dapat melihat latar belakang
penuturan cerita boboran itu melalui pandangan hidup orang Sunda berikut ini,
Tata, Titi, Surti, Ati-ati
Orang Sunda seperti yang sudah saya
sejelaskan sebelumnya adalah orang yang gemar “ngulik hirup”, pengulikan itu
terjadi sepanjang proses kehidupan. Ngulik dapat dimana saja, dan ari apa saja
yang ada di alam ini. berikut ini salah satunya,
Kata tata = dapat diartikan sebagai sebuah aturan kesopanan, kata ini
berasal dari kata semut dalam bahasa Sunda
tataman yang berati semut hitam. Ada
apa dengan semut hitam? Semut merupakan serangga yang sangat rajin, tapi bukan
hanya itu, ia juga adalah serangga yang sangat teratur, setiap ekor semut
mengerti secara spesifik tugas dan pekerjaannya dan ia tidak pernah menyimpang
pada tugas dan pekerjaan lain, selain itu semut pun memiliki kerja sama atau
ikatan kekerabatan yang sangat baik. Semut saling memberi sinyal (seperti
bersalaman) bukan hanya sebagai basa basi, tapi sebagai penghubung dan sarana
komunikasi yang membantunya menjalankan segala proses kehidupannya. Bagi orang Sunda,
sifat seperti ini harus dicontoh oleh manusia. Kemanapun dan bagaimana pun
manusia itu dalam tugas dan pekerjaannya, haruslah tetap menjaga tata. Artinya tidak boleh lupa dengan
sesama. Sesibuk apapun ketika bertemu dengan sesama haruslah saling memberi
hormat dan salam satu dengan yang lain. Maka jelas disini, dalam penuangan
pikiran itu sendiri, hendaknya tidak keluar dari tata. Sekalipun pikiran,ide atau gagasan itu dianggap benar dan
baik, tidaklah harus mengabaikan rasa hormat. Tidaklah harus mengabaikan diri
dari masyarakat karena merasa benar. Tapi sebaliknya hendaknya saling
memberikan sinyal satu dengan yang lain, supaya yang nyasar kembali ke jalan yang benar sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya masing-masing. Karenanya penyampaian pikiran melalui cerita bodor,
dianggap sebagai cara yang baik untuk berbagi ide dan pandangan hidup.
Titi
= berarti tertur dan tidak bertabrakan, berasal dari kata “titingi” dalam bahasa indonesia disebut serangga kaki seribu. Ada
apa dengan serangga ini? yang paling mencolok dari serangga ini adalah kakinya
yang sangat banyak, tapi jika diperhatikan kaki sedemikian banyak kok jalannya
lambat? Tapi kalau diperhatikan, pernahkah kita melihat kaki seribu keleseleo,
terkilir, atau saling menambrak antara kakinya itu? nah disinilah uniknya, hidup
itu harus punya banyak langkah, banyak saudara, banyak teman, banyak kemampuan,
tapi semua itu harus teratur. Setiap hal selalu berhubungan, dan hubungan itu
haruslah dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun hidup itu harus dihayati dan
dinikmati perlahan-lahan, dalam menjalani hidup kita hendaknya tidak boleh
terburu-buru, sebaliknya hidup itu adalah sesuatu yang harus dihayati secara
luas dan dalam. Sekalipun kecil dan lambat langkah kita tapi dengan keteratun
dan keuletan lama-lama sampai juga pada tujuan. Karenanya penyampaian pikiran
melalui bodor dapat menjadi cara penuturan yang dianggap halus, luwes, dalam
penyampaian ide dan pandangan hidup.
Surti
= berarti hayati (batiniah), adapun hidup ini kita diperhadapkan dengan keadaan
dan kebutuhan materi, namun hidup tidak hanya berarti pencapaian harta saja.
Manusia harus benar-benar mengerti dirinya. Nilai yang melekat padanya bukan
pada harta yang ia miliki. Manusia perlu belajar, manusia perlu mengisi dirinya
dengan pengehuan dan tidak hanya berfokus pada kepuasaan badani. Manusia harus
mampu memberikan nilai positif pada apa yang ada di sekelilinya di mana ia
dilahirkan dan hidup. Manusia hendaknya mau berbagi di dalam hubungannya dengan
sesama dan alam. Karenanya pemikiran itu hendaknya tidak hanya dinikmati
sendiri, tapi juga patut diceritakan,
melalui cerita bodor itulah manusia belajar untuk saling menghayati hidupnya
satu dengan yang lain.
Ati-ati
= berarti berhati-hati. Filosofi Bunglon dalam pandangan orang Sunda sering
kali disalah artikan. Ini tidaklah berarti mencari keuntungan sendiri, atau
pikiran dan hidup yang berubah-ubah hanya untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Tapi bermakna lebih luas dari pada itu. ati-ati merujuk pada hewan Bunglon (dalam bahasa Sunda Londok).
Jika dilihat dari cara hidup Bunglon kita melihat adanya hidup yang yang sangat
berhati, bahkan seperti tidak ingin terlihat, dan berusaha bersembunyi. Bukan
hanya berhati-hati untuk dirinya, tapi juga hati-hati dengan alam
sekelilingnya. Ia berjalan mengendap-ngendap, seolah takut jatuh, ditempat hitam ia mejadi hitam, ditempat hijau ia
menjadi hijau. Ia pun tidak serakah, ia hanya makan seperlunya saja. Maka hidup
itu harus menjadi hidup yang penuh dengan kehati-hatian, bukan hanya berfokus
pada diri, tapi bagaimana kita berhati-hati di dalam menjaga tata, titi, surti yang ada. Sebelum
jatuh alangkah lebih bijak kita berhati-hati terlebih dahulu. Ada baiknya kita
memberikan ruang untuk keraguan agar
kita selalu waspada dan selalu belajar, ada baiknya memiliki ketidakmampuan
agar kita selalu rendah hati. Jadi segala yang dianggap kurang atau tidak baik
tidaklah selalu bermakna tidak baik atau tidak perlu. Semua dapat menjadi baik
jika kita mampu mengolahnya dengan baik. Demikian juga sebaliknya sesuatu yang
baik dapat menjadi tidak baik jika kita tidak bisa mengolahnya. Maka dalam
penyampainan pikiran pun kita perlu mengolahnya dengan baik agar itu dapat
diterima dan bermanfaat. Maka olahan pikiran dalam bentuk cerita bodor dapat
menjadi alternatif yang baik untuk memberikan kesegaran dan “penghiburan”, tapi
juga tetap dapat memberikan koreksi dan kritik atas hidup.
Dengan demikian, pemahaman atas
hidup bukan hanya pandangan saya dan milik saya. Melainkan menjadi pandangan
bersama dan milik bersama. Ini bukan oleh saya, juga bukan untuk saya, ia
berusaha bersembunyi seperti Bunglon, hendak berhati-hati, mari kita pikirkan dan nikmati bersama begitulah kata orang Sunda. Ya, begitulah ceritanya, menurut yang saya pahami, ia hendak
berkomunikasi memberikan sinyal seperti seekor tataman. Mari kita renungi dan kerjakan bersama, ia mengajak berjalan seperti seekor titingi.
Itulah maksud dari si Sunda ngabodor, mengajak anda untuk bicara,
mendengar, berbagi, dan setara. Tiada ada yang lebih hebat dari kita semua,
saya dan anda adalah orang yang sama. Sama-sama belajar, jika ada yang keliru
dan salah, ya marilah sejenak kita tertawa, marilah kita mentertawakan hidup
kita yang “bodoh” ini. Dan marilah kita terus belajar untuk melihat hidup ini
dengan cara yang lebih baik.
Kali ini Si Kabayan mentertawakan kebodohannya, mungkinkah ia juga
mentertawakan kita? Ya, barangkali begitu. Dia mengajak kita mentertawakan
setiap pikiran manusiawi kita yang terbatas. Dia hendak menyindir kita dengan
sikapnya. Saya sendiri tidak tahu apa dia betul-betul bodoh atau berpura-pura
bodoh agar kita malu. Tapi, kasus nyempungnya Si Kabayan di sawah memang menjadi kasus yang cukup memalukan.
Bagaimana mungkin seorang orang desa nyemplung di sawah karena takut melihat bayangan langit? Bukankah
sudah tidak asing bagi orang desa untuk bersentuhan dengan sawah, kebun dan
lingkungan sekitarnya? Mari kita renungankan sejenak! Saya rasa, jika kita
cermat melihat ini tentulah ini menjadi hal yang tidak biasa,hal yang ganjil
dan aneh.
Dengan sikap dan pemikirannya, si Kabayan seolah menentang dan
menyindir pemikiran, tak jarang ia
juga menjadi cerminan dari kebodohan kita. Kali ini apa yang dia mau? Apakah
ini berupa sindiran? Atau cerminan? Entah apalah itu. Saya coba berdiskusi
dengan beberapa kolot Sunda untuk
mengerti hal ini. Entah itu sebagai sindiran atau cerminan. Sikap Kabayan
kali ini berisi sebuah pelajaran penting bagi kita bahwa kita sebagai individu
di tengah-tengah masyarakat seringkali terkurung dengan pikiran kita sendiri.
Kita tidak sungguh-sungguh sadar akan hidup ini. Barangkali pikiran kita terlalu melalangbuana kesana-kemari tapi
sebenarnya kita tidak pergi kemana-mana. Ironis, di satu-sisi pikiran kita
diisi dan dipenuhi oleh berbagai macam bayangan, tapi kita tidak
sungguh-sungguh memijak kehidupan ini. seperti halnya si Kabayan yang melihat pantulan langit, dan ia merasa takut memijak sawah. Barangkali itulah
kita ketika kita tidak sungguh-sungguh menghidupi hidup ini. masih mengantuk,
masih sempoyongan, belum sepenuhnya bangun, sehingga segala tindakan menjadi
tindakan kebodohan, solusi hidup seakan terlihat pintar tapi sia-sia. Apa
gunanya mencari leugeut untuk
menangkap tutup? Bukankah itu usaha sia-sia? Tidak lebih baik jika diambil
dengan tangan saja? Itulah kita sebagai manusia. kita seringkali bersembunyi
dari kenyataan hidup. Bersembunyi dengan alat (leugeut dan bambu), kita
menyalahkan segala perangkat yang melekat pada diri kita, tanpa kita terjun
langsung melihat dan menapaki hidup ini. Jika si Kabayan terkelabui oleh pandangannya yang masih mengantuk,
barangkali kita hari ini juga demikian. Barangkali kita masih terjebak dengan
kebiasaan-kebiasan indrawi kita, barangkali kita terjebak dalam kebiasaan
pemikiran-pemikiran kita. jika si Kabayan
menyalahkan leuget dan bambunya yang
tidak berhasil mengambil tutut,
mungkin kita juga demikian. Kita menyalahkan seseorang, sekelompok orang,
institusi, sistem atau entah apalah itu, tanpa kita tidak pernah memijakan kaki
kita pada realitas yang sebenarnya? Maka jelaslah tawa Si Kabayan kali ini, mengajak saya (barangkali kita) untuk melihat
hidup ini dengan sesadar-sadar dan sepantas-pantasnya.
Hidup dimulai dengan melakukan
sesuatu yang mungkin, dan bukan melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Apa yang
dilakukan si Kabayan adalah suatu
usaha yang hampir-hampir mustahil. Padahal yang dilakukannya seharusnya adalah
sesuatu yang sangat mudah karena itu sangatlah sederhana. Apa yang diambil juga
bukanlah emas atau permata yang memang susah untuk ditemukan, tapi hanya “tutut” sawah, jenis keong yang
berserakan di pesawahan. “Tutut” bisa
jadi makanan bagi orang yang tidak memiliki “Balong” (kolam ikan), makanan bagi
mereka yang tidak memiliki ikan untuk dipancing di kolam. Dengan kata lain, tutut itu berserakan untuk siapapun yang
ingin mengambilnya, ia ada dari alam, dan tidak seorang pun menanamnya, di satu
sisi ia hidup sebagai hama karena ia memakan padi, tapi di sisi lain ia juga
dapat jadi makanan bagi mereka yang mampu mengolahnya.
Ketika sebuah pandangan pemikiran
tidak sungguh-sungguh diterapkan/diuji ulang dalam praksis kehidupan itu adalah
sesuatu yang tidak ada gunanya. Jika sebuah pemikiran hanya menjadi kebenaran
sendiri, maka ia tidak ada paedahnya, hanya akan menjadi tertawaan publik saja.
Jika sebuah pandangan kehidupan, etah apa itu, mungkin dapat dikatakan doktrin atau dogma yang hanya
berkoar-koar dikubunya saja bahkan ia sendiri tidak akan kenyang, ia sendiri
tidak akan makan. Ia sendiri akan lapar, karena jelas tidak ada kerjanya.
Jangankan makan ikan, makan tutut pun
yang mudah sekali di dapat, lambang dari masyarakat biasa, tidak akan dapat.
Tidaklah ini adalah suatu hidup yang bahaya? Tidaklah ini menjadi gaya hidup
yang tidak sehat? Bahkan makan hama sawah pun tidak bisa? Inilah ironisnya
manusia. karenanya pikiran itu haruslah dapat diuji dalam kehidupan secara
nyata. Hidup itu bukan hanya bercerita yang jauh, tapi juga kini dan sekarang.
kita memang ingin mengapai langit, tapi ingat kita sekarang menyentuh bumi.
Hidup itu haruslah bersesuaian dengan alam dimana kita berada (gaya hidup Bunglon).
Hidup bukanlah masalah salah atau
benar saja, tapi hidup terdiri dari komponen-komponen yang perlu untuk
dihubungkan. Pandangan atas hidup haruslah dilihat kesatuan dan keutuhannya
dalam realitas nyata melalui kontak
langsung dengan alam. Sebuah pikiran dan pandangan saja tidak akan mengubah
sebuah tatanan kehidupan. Maka setiap pikiran dan pandangan dunia haruslah
sampai pada tindakan atau dalam bahasa Sunda disebut “lampah”. Melalui lampah
inilah akhirnya pikiran atau gagasan itu diuji kelayakannya, apakah itu pantas
untuk dihidupi atau tidak. Singkatnya pandangan atas hidup harus relevan! Barangkali
ada kalanya kita seperti si Kabayan,
terlalu jauh dengan pandangan sendiri tanpa melihat realitas nyata, akhirnya
kita didorong hingga tercebur, dan akhirnya kita tahu. “ehh ternyata dangkal.”
Sejenak kita mentertawakan diri kita karena rupaya setelah dicemplungkan dalam kenyataan semua tak seperti bayangan kita. Kiranya semua pengalaman itu tidak
membuat diri kita berputus asa, tapi seyogyanya membuat kita semakin menyadari
bahwa masih banyak hal yang tidak kita ketahui, masih banyak kekeliruan yang
harus kita cermati dan kita belajar untuk mensyukuri serta menghayati hidup ini
sebagai sebuah perjalanan dan perbelajaran dimana kita hidup dalam sebuah
hubungan-hubungan penting yang patut dijaga dan dipelihara. Keutuhan hidup
dimulai dari kesadaran mengenai berbagai macam keterbatasan, keterbatasan itu
pun adalah sebuah realitas yang nyata. Karenanya kita selalu diingatkan pada
kebodohan dan kekeliuan kita, bagaimana si Kabayan melihat ini? bukan sebagai
sebuah kegagalan! Tapi dia hanya tertawa, bagaimana si Kabayan melihat kita
hari ini? mungkin dia juga hanya tertawa. Dalam pandangan melihat hidup dia
hanya ingin mengajak kita tertawa bersamanya. Marilah sejenak kita menertawakan
hidup bersama si Kabayan! haha
Panjang bgt sih bro. Haha
BalasHapusbetul juga, ya apa boleh buat.. haha
BalasHapus