Sabtu, 03 Mei 2014

Secuplik Tentang Pencapaian “Kaluginaan” dan Konsep Teologi dalam Perspektif Sunda

Tulisan ini hadir sebagai upaya penjernihan tulisan saya yang sebelumnya yang berjudul Menyelami istilah “Ngulik” dalam pemikiran “Urang Sunda”, yakni sebagai suatu respon atau tanggapan dari sahabat saya Rinto, untuk dapat melihat tanggapan bung Rinto dapat dilihat disini. Untuk melihat tulisan saya sebelumnya dapt dilihat disini. Sebelumnya tak luput saya menghaturkan banyak terimakasih atas apresiasi, dorongan, dan evaluasi yang telah diberikan. Tentu saja ini sangat membantu saya dalam upaya memahi sedalam-dalam dan sejelas-jelasnya bagaimana filsafat Sunda itu. Semoga semua upaya ini dapat memperkaya dan mengingatkan kita bertapa berharganya dan luasnya pemikiran filsafat Indonesia itu.
Saya sangat menyadari dalam upaya pemaparan filsafat Sunda ini masih banyak kekurangan. Terutama dalam penggunaan istilah dan pembahasaannya yang kurang ketat. Juga saya harus sangat berhati-hati pada pemikiran saya sendiri, oleh karena saya perlu menjaga ke-aslian dari filsafat Sunda itu sendiri agar tidak tercampur dengan filsafat lainnya yang pernah saya pelajari khususnya filsafat Barat. Oleh karena itu jika ada penggunaan kata yang “agak” kebarat-baratan itu tidaklah bermakna sama seperti dalam penggunaan filsafat Barat, tapi saya berusaha untuk mencari kata yang “agak” dekat atau mewakili gagasan yang coba saya kemukakan.
Seperti yang sempat saya uraikan dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa tulisan tersebut hanyalah sebuah cuplikan singkat atas salah-satu pemikiran Sunda. Karenanya tulisan ini hadir untuk memperlangkapi dan lebih menjernihkan tulisan tersebut. Semoga ini dapat lebih mencerahkan kita dalam memahami filsafat Sunda.
Sanggahan 1
Tidak jelas bagi saya apa yang dimaksud Eka sebagai sebuah usaha eksistensial, karena dia mencoba menyambungkannya dengan usaha ilmiah yang menyelami sampai kesudut epistemologis. Sepanjang hemat saya, eksistensialisme tidak terlalu memusingkan persoalan epistemik, eksistensialisme adalah sebuah gaya hidup bukan aliran filsafat. Cara berpikir seorang eksistensial adalah reflektif, tidak menuntut konsistensi ontologis. Eksistensialisme selalu berisi pertimbangan dalam kehidupan praktis dan nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu, eksistensialisme banyak berputar diwilayah etis dan estetis. Tapi ketika Eka mencoba menyatukan keduanya, bagi saya itu menjadi sesuatu yang membingungkan.
Penggunaan istilah yang saya maksud di atas, tidaklah dapat disamakan seluruhnya dengan pandangan filsafat Barat, bukan juga mengarah pada aliran eksistensialisme seperti Soren Kierkegaard dan tokoh-tokoh eksistensialisme lainnya. Tapi dalam proses “ngulik” salah satu aspek pentingnya adalah “pengulikan” itu selalu bersifat personal dan tidak bisa ditransfer. Yang artinya perlu adanya “pengalaman” eksistensial, karena “pengulikan” itu pun selain dari sebuah kajian, ia juga bersifat sangat reflektif, karenanya ada sedikit kesamaan dengan eksistensialisme yang selau berisi pertimbangan dalam kehidupan praktis  dan nyata dalam kehidupan. Maka sampailah pada kebingungan bung Rinto, bagaimana sesuatu yang bersifat eksistensial dapat sekaligus bersifat epistemologis? Jawabannya sangatlah sederharna, untuk memahami hal ini kita perlu memahami cara orang Sunda berkomunikasi.
Dalam bahasa Sunda terdapat banyak sekali penggunaan bahasa yang serupa tapi tak sama. Bahkan mungkin bagi saya sendiri yang adalah orang yang lahir dan hidup dalam “kesundaan” masih sulit untuk dapat menerapkan bahasa secara tepat. dalam bahasa Sunda penggunaan kata saya terdiri dari beberapa kata, salah satunya : abdi, urang, aing, kuring, kaula (sering digunakan dalam pewayangan)
Abdi, sering digunakan dalam percakapan yang sopan baik diantara orang yang lebih tua, atau setara (seumur) diantara teman. Dapat diartikan sebagai “hamba”. Jadi ketika kata ini digunakan dapat diartikan “saya yang menghambakan diri.”
Urang, digunakan dalam percakapan yang “menengah”. Tidak dapat dikatakan sebagai kata yang kasar, atau pun kata yang halus/sopan. Urang juga dapat berarti jamak (dalam bahasa Indonesia :kita/kami). Ketika digunakan dalam percakapan dapat diartikan “saya yang menyetarakan diri dengan kawan/lawan bicara.”
 Aing, digunakan dalam percakapan yang “kasar”. Menunjuk pada ego dan hak milik. Sebagai contoh, “hirup aing, kumaha aing” (hidup saya, bagaimana saya saja) atau “Persib nu aing” (Persib milik saya). Menunjuk pada kuasa, kepemilikan ego terhadap segala sesuatu, aing menunjuk pada kesombongan bahwa sang ego berhak untuk melakukan apapun baik itu pada dirinya atau pun pada orang lain.
Kuring, menunjuk pada pribadi, sangat personal. Secara filosofis dalam filsafat Sunda kuring menunjuk pada pencapaian jati diri. Maka seperti sebelumnya, dalam pemaham Sunda, setiap manusia Sunda dalam “pengulikan”-nya haruslah sampai kepada “kuring”. Dimana kuring terlepas dari kurung, atau nafsu manusiawi yang bersifat menghacurkan.
Ketika seseorang menemukan “kuring”-nya maka sampailah ia pada “hirup anu lugina” (hidup yang bahagia-dalam tahap sementara). Karena kuring selalu bersifat personal maka dalam pengaliannya pastilah bersifat eksistensial, eksistensial dalam arti ini yaitu reflektif, dan mengarah pada pertimbangan kehidupan praktis. Tapi ingat, ketika seorang Sunda menemukan kuring-nya bukan berarti ia terpisah dari komunitas dimana ia hidup! Ia tetap menjadi bagian yang terhubung satu dengan yang lainnya. Saat itulah saat dimana ia terjun ke dalam masyarakat sebagai “abdi” atau hamba bagi sesamanya. Sudah menjadi kepatutan bagi abdi, untuk mengamalkan pemahaman pada komunitas, maka kuring-nya dengan rendah hati harus mengabdikan diri pada masyarakat. upaya pengamalan ini yang saya maksud sebagai relung epistemologis! Mengapa dikatakan epistemologis? Upaya pengamalan pengetahuan itu haruslah dapat dijabarkan, dan dipertanggungjawabkan sumber dan cara (mungkin dapat dikatakan metode) dalam dialog diantara masyarakat. proses dialog inilah yang akhirnya menguji secara terus-menerus bagaimana suatu pengetahuan itu terbentuk atau dalam bahasa yang sering kita sebut “epistemologi”. Namun, epistemogi ini kembali saya tekankan tidaklah bermakna seperti filsafat Barat. Tapi hanya sampai pada batas pengujian cara sumber pengetahuan itu terbentuk/ada sejauh pemikiran Sunda itu tumbuh (“tumuwuh”) di tatar Pa-sunda-an. Jadi dalam hemat saya, ketika kita kita mencoba memahi filsafat atau sederhananya pikiran orang Sunda, kita perlu melihat orang Sunda dalam dimensi-dimensi personal yang melekat padanya. Dalam waktu dan tempat yang berbeda dia adalah abdi, urang, aing, kuring atau kaula.

Sanggahan 2
Pemaknaan personal yang diajukan Eka pun tampaknya tidak begitu jelas. Dia mengatakan ada kegiatan mempelajari dan menalaah sebuah objek sampai mencapai kesatuan. Seolah Eka ingin mengatakan bahwa sebelumnya ada jarak antara subjek dan objek dalam usaha subjek memahami objek. Ini sepertinya khas cara berpikir barat yang diusung oleh Hegel dan Kant. Hegel dan Kant pertama sekali selalu mengambil jarak dengan sebuah objek dalam usaha memahaminya. Hasil akhirnya yang tinggal adalah sebuah pengertian (understand) tentang objek itu. Pertanyaannya, apakah betul cara berpikir Sunda yang timur itu seperti itu? Bukankah cara berpikir timur selalu jatuh dalam sebuah asumsi kesatuan yang mutlak dan otomatis kepada alam? Bukankah cara berpikir timur itu selalu menghindari cara berpikir dikotomis khas barat? Saya pikir, Eka perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Jika tidak, maka tampaknya Eka hanya jatuh pada pembahasaan filsafat barat dengan bahasa Sunda. Itu berakibat fatal pada identitas dari filsafat Sunda itu sendiri.

Pendalaman personal di dalam proses “pengulikan” disini yang saya maksudkan adalah adanya hubungan antara subjek dan objek yang melampaui kaidah-kaidah kebahasaan, dimana sebelumnya bahasa seolah menjadi pemisah antara subjek itu sendiri. Dalam hal ini, pikiran Sunda, menyadari bahwa bahasa dalam sisi tertentu sangat berperan dalam proses pertukan informasi, namun karena ini berhubungan dengan sesuatu yang melampaui informasi, yaitu proses penemuan “kuring” (jati anu ngajadi diri) maka bahasa dipandang sebagai sesuatu batas, bukan jarak seperti pemahaman dalam teori Helegianisme dan Kantianisme. Sehingga seperti yang sudah saya paparkan, orang Sunda menyakini bahwa dibalik ilmu atau suatu pengetahuan ada tersimpan sesuatu yang tidak bisa ditranfer begitu saja dari sang guru pada murid. Guru dipandang bukanlah sebagai bank ilmu, dan murid sebagai wadah. Tapi hubungan Guru lebih sebagai mediator dan pembimbing, sebagai orang yang jauh lebih dulu mengalami dan menelaah, sedangkan murid dipandang sebagai sebuah benih, yang perlu untuk dipelihara dan diarahkan hingga akhirnya menemukan dirinya, yang akhirnya juga dapat menjadi seorang “guru” untuk kembali dapat menjadi mediator atau pembimbing dalam suatu tatanan masyarakat. Kebersatuan dan keutuhan antara si “pengulik” dan apa yang “diulik” dianggap sebagai upaya yang harus digapai guna mencapai keutuhan diri. Dalam pemahaman ini, ada unsur mistis yang sangat kuat dalam orang Sunda dalam melihat kehidupan. Bagaimana keutuhan itu dapat digambarkan? Saya pun masih perlu banyak belajar untuk menjelaskan hal ini. Namun demikian, penjelasan saya ini kiranya dapat sedikit menjawab sanggahan dari bung Rinto mengenai jarak antara subjek-objek seperti yang disanggahkan di atas.

Sanggahan 3
"Hirup nu hirup" atau disebut hidup yang berkecukupan. Berkecukupan yang dimaksud Eka adalah sebuah sikap tunduk pada Yang Ilahi. Artinya disini "hirup nu hurip" itu harus selalu dipahami dalam arti teologis. Tapi sayang, Eka tidak memberi konsep tentang Yang Ilahi. Tuhan yang seperti apa yang harus dipahami untuk mencapai kecukupan? Tuhan yang ontologis khas teologi Amerika Utara dan Eropa? Atau Tuhan mitologis yang muncul dari pemahaman tentang alam khas berpikir timur? Sayang, Eka tidak mengatakan apapun untuk itu.
Secara jujur, saya tidak bisa atau lebih tepatnya tidak ingin mengkategorikan apakah Tuhan yang dimaksud disini sebagai Tuhan yang ontologis atau mitologis? Sejauh pengamatan saya yang sangat minim, memang dalam upaya memahami konsep ketuhanan dalam pikiran Sunda secara “original” menjadi sesuatu yang “agak” pelik. Mengapa demikian, orang sunda, memiliki ciri khas pemikiran yang mampu menyerap suatu pandangan, ilmu, gagasan, sebagai “milik”-nya, karena kata “sunda” itu sendiri dapat diartikan “ya” merujuk pada kata “pangersa” diartikan sebagai ijin atau kuasa, dalam beberapa dialek sunda, dikatakan juga “leres sun”, dalam bahasa modern dapat dikatakan “ya gan!” Hal ini membawa pikiran sunda sebagai sebuah pikiran yang terus menerus berubah sepanjang zaman, sesuai dengan konteks dimana ia berada. Adapun pandangan dan pikiran (termasuk agama) itu tidaklah menjadi darah dan daging, melainkan hanya sebagai baju dan wadah untuk  menjalankan pemikirannya. Salah satu contoh nyata dari hal ini dapat kita lihat cerita Kabayan (untuk selanjutnya akan saya coba untuk mencuplik salah satu cerita kabayan, guna memperjelas pemahaman kita untuk dapat mengerti pikiran sunda terhadap manusia). hal itu pun sangat mempengaruhi konsepnya tentang Tuhan.
Adapun demikian, saya menemukan unsur mistis yang sangat kental tentang ketuhanan dalam pikiran Sunda, sekalipun mungkin pemikiran ini sudah tercampur dengan paham hinduisme, namun kita masih dapat menemukan jejak-jejak pemikiran Sunda buhun/kuno. Dalam pemikiran Sunda Tuhan dipandang sebagai sumber kuasa, atau sering disebut sebagai Sang Hyang Widi, widi adalah kata agung yang mengantikan kata “pangersa” yang berarti ijin. Artinya segala sesuatu yang terjadi di alam ini ada dalam ijin Tuhan (Sang Hyang Widi). Tuhan sebagai sumber dari segala “pangersa” mengijinkan alam ini terbentuk, termasuk ekosistem di dalamnya. Pada akhirnya segala di dalam “pengersanya” mengarahkan seluruh ciptaannya termasuk manusia pada pengenalan pada Sang Hyang Widi tersebut. Karena Sang Hyang Widi telah mengijinkan alam ini terbentuk maka pancaran ilahinya atau pengersa itu sendiri itu pun tercurah pada ciptaannya. Oleh karena itu setiap ciptaannya memiliki “pangersa” (ijin) untuk hidup. Ijin itu melahirkan kehendak dan keinginan. Adapun demikian, bahwa ciptaannya tidaklah sempurna, dan Sang Hyang Widi adalah sempurna. Bahwa ciptaannya suatu saat akan mengalami kematian (sementara) sebagai suatu proses untuk kembali pada kehendak yang ilahi (Sang Hyang Widi) maka perlu bagi ciptaannya, dalam hal ini manusia, untuk betul-betul mengamati dan belajar tentang hidupnya. Dari mana ia sepatutnya belajar? Tentulah dari apa yang sudah dinampakan oleh Sang Hyang Widi, yaitu dari alam yang sudah ia ciptakan. Alam dipandang sebagai sumber kehidupan dan juga sumber ilmu. Karenanya kata “hubungan” menjadi kata kunci penting bagi orang Sunda dalam upaya memahami realitas. Hubungan itu berkaitan dengan hubungan antar manusia (yang dibagi dalam beberapa tingkatan seperti : orang tua – anak, pemimpin – rakyat, dst,), hubungan manusia dengan alam (termasuk juga dengan yang gaib), hubungan dengan Sang Hyang Widi yang dijembatani melalui penemuan “kuring” melalui pembelajaran dari alam.


Sanggahan 4
Dari paparan yang demikian, sehingga tak salah jika saya memberi judul tulisan ini adalah "Kebahagiaan tanpa Identitas". Tidak jelas Eka mau membawa kemana kaluginaan yang dia maksud. Baiklah saya berikan contoh. Eka bilang bahwa dalam filsafat Sunda, kebahagiaan didapat dari mempelajari kehidupan dan tunduk pada Yang Ilahi. Katakanlah Kang Aan mempelajari kehidupan bahwa membunuh itu benar dan itu perintah dari Yang Ilahi yang dipahaminya. Apakah Kang Aan termasuk orang yang berbahagia? Tentu ini akan menjadi tugas yang berat bagi Kang Aan dalam menjawab pertanyaan Jaksa Penuntun dihadapan Hakim.
Seperti yang saya jelaskan diatas, bahwa orang sunda dapat memainkan perannya dalam beberapa dimensi (abdi, urang, aing, kuring, kaula) dimana “hubungan” adalah kata kunci untuk memahami pikiran Sunda. Ketika seseorang menemukan “kuring”-nya. Tentulah ia tidak memandang dirinya sebagai seseorang yang sudah penuh dengan ilmu sehingga tidak membutuhkan orang lain, atau seorang yang cukup berpuas diri dan tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya ia hadir di tengah masyarakat, untuk merendahkan diri, dimana “kuring”-nya di-abdi-kan melalui pengalamalan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini terjadilah dialog yang dapat membawa setiap orang Sunda pada proses pengujian kebenaran. Disinilah “kuring” sang guru kembali diuji oleh “kuring” guru yang lainnya, atau mungkin dipertanyakan kembali oleh sang murid (karena guru bukanlah yang selalu benar). Pada proses dialog dimana “kuring” berdialog dengan “kuring” yang lainnya disitulah terjadi proses penyatuan dan penghayatan hidup dimana setiap orang dapat merasakan/berbagi kalugiaan. Sehingga kalugianaan itu bukan lagi kaluginaan personal, tetapi menjadi kaluginaan yang dipahami secara kolektif dalam suatu tatanan masyarakat. kalugianaan ini pun membawa setiap orang pada pehaman dan kesadaran atas hidup sebagai sesuatu yang harus terus dipelihara dengan tanggung jawab dan perlu untuk terus dikaji dan dipelajari bersama. Namun kembali saya tekankan, kalugianaan ini bukanlah “berpuas diri”, tapi sebuah rasa syukur, penerimaan diri dan pengendalian diri. Rasa syukur untuk sebuah kehidupan dan pengertian yang didapat hari ini, dan pengendalian diri untuk terus mau “ngulik” hirup dari rentetan-rentetan dan hiruk pikuk sejarah manusia yang terus bergulir. Sekembalinya jati diri pada yang ilahi, diharapkan, jati diri itu adalah dalam kondisi yang murni sesuai dengan “pangersa” sang kuasa. Dengan demikian sudah menjadi panggilan hidup bagi setiap manusia sunda untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang pembelajar, dimana pembelajaran dipelajari sedalam-dalamnya, terbuka, dan rela untuk kembali mengevaluasi pandangannya sebagai usaha pengalaman dan bakti terhadap masyarakat dimana ia hidup. Oleh karena itu identitas dari kalugianaan itu terbentuk dari hubungan-hubungan antara si pengulik dengan yang diulik, antara manusia dengan alam, antara manusia-dengan manusia, dan antara manusia dengan sang pencipta secara berkesinambungan.
Tentu saja masih banyak pikiran Sunda yang perlu saya jabarkan. Bahkan tulisan ini pun masih sangat terbuka untuk dikoreksi dan dikritisi kembali. Hal ini mendorong saya untuk terus mempelajari bagaimana filsafat Sunda itu, terutama mengenai konsep tentang teologi, antropologi orang Sunda yang belum tergambar secara utuh dalam tulisan ini? Menjadi hasrat saya untuk mendalami dan mencoba untuk mengamalkan “pikiran” Sunda di tengah pemikiran-pemikiran lain sebagai upaya untuk memberikan sumbangih atas keragaman pemikiran dan pergerakan filsafat di Indonesia.



2 komentar:

  1. Keren euy.
    Biar lebih mantap, coba deh pertopik nulisnya Kang. Biar ga terjadi seperti kebingunganku.
    Coba mulai dr antropologi atau paham tentang Yang Ilahi.

    BalasHapus
  2. baik bro. sedang saya upayakan. seperti yang sempat saya katakan, memang riset utk hal ini agak pelik, mengigat ada beberapa kesukaran yang saya alami, diantara nya masalah sumber, meningat ada perbedaan2 antara sumber literatur, dan wawancara dan dialog dengan tokoh sunda. Nanti saya coba untuk lebih terkonsentari pada satu topik bahasan. Nuhun bro. kiranya semangat utk selalu belajar n berbagi selalu mengalir pada darah kita bro. haha

    BalasHapus