Tulisan ini hadir sebagai upaya
penjernihan tulisan saya yang sebelumnya yang berjudul Menyelami istilah
“Ngulik” dalam pemikiran “Urang Sunda”, yakni sebagai suatu respon
atau tanggapan dari sahabat saya Rinto, untuk dapat melihat tanggapan bung Rinto dapat dilihat disini. Untuk melihat tulisan saya sebelumnya dapt dilihat disini. Sebelumnya tak luput saya menghaturkan
banyak terimakasih atas apresiasi, dorongan, dan evaluasi yang telah diberikan.
Tentu saja ini sangat membantu saya dalam upaya memahi sedalam-dalam dan
sejelas-jelasnya bagaimana filsafat Sunda itu. Semoga semua upaya ini dapat
memperkaya dan mengingatkan kita bertapa berharganya dan luasnya pemikiran
filsafat Indonesia itu.
Saya sangat menyadari dalam upaya
pemaparan filsafat Sunda ini masih banyak kekurangan. Terutama dalam penggunaan
istilah dan pembahasaannya yang kurang ketat. Juga saya harus sangat
berhati-hati pada pemikiran saya sendiri, oleh karena saya perlu menjaga
ke-aslian dari filsafat Sunda itu sendiri agar tidak tercampur dengan filsafat
lainnya yang pernah saya pelajari khususnya filsafat Barat. Oleh karena itu
jika ada penggunaan kata yang “agak” kebarat-baratan itu tidaklah bermakna sama
seperti dalam penggunaan filsafat Barat, tapi saya berusaha untuk mencari kata
yang “agak” dekat atau mewakili gagasan yang coba saya kemukakan.
Seperti yang sempat saya uraikan
dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa tulisan tersebut hanyalah sebuah cuplikan
singkat atas salah-satu pemikiran Sunda. Karenanya tulisan ini hadir untuk
memperlangkapi dan lebih menjernihkan tulisan tersebut. Semoga ini dapat lebih
mencerahkan kita dalam memahami filsafat Sunda.
Sanggahan 1
Tidak jelas bagi saya apa yang dimaksud Eka sebagai sebuah
usaha eksistensial, karena dia mencoba menyambungkannya dengan usaha ilmiah
yang menyelami sampai kesudut epistemologis. Sepanjang hemat saya,
eksistensialisme tidak terlalu memusingkan persoalan epistemik,
eksistensialisme adalah sebuah gaya hidup bukan aliran filsafat. Cara berpikir
seorang eksistensial adalah reflektif, tidak menuntut konsistensi ontologis.
Eksistensialisme selalu berisi pertimbangan dalam kehidupan praktis dan nyata
dalam kehidupan. Oleh karena itu, eksistensialisme banyak berputar diwilayah
etis dan estetis. Tapi ketika Eka mencoba menyatukan keduanya, bagi saya itu
menjadi sesuatu yang membingungkan.
Penggunaan istilah yang saya maksud
di atas, tidaklah dapat disamakan seluruhnya dengan pandangan filsafat Barat,
bukan juga mengarah pada aliran eksistensialisme seperti Soren Kierkegaard dan
tokoh-tokoh eksistensialisme lainnya. Tapi dalam proses “ngulik” salah satu
aspek pentingnya adalah “pengulikan” itu selalu bersifat personal dan tidak
bisa ditransfer. Yang artinya perlu adanya “pengalaman” eksistensial, karena “pengulikan”
itu pun selain dari sebuah kajian, ia juga bersifat sangat reflektif, karenanya
ada sedikit kesamaan dengan
eksistensialisme yang selau berisi pertimbangan dalam kehidupan praktis dan nyata dalam kehidupan. Maka sampailah
pada kebingungan bung Rinto, bagaimana sesuatu yang bersifat eksistensial dapat
sekaligus bersifat epistemologis? Jawabannya sangatlah sederharna, untuk
memahami hal ini kita perlu memahami cara orang Sunda berkomunikasi.
Dalam bahasa Sunda terdapat banyak sekali
penggunaan bahasa yang serupa tapi tak sama. Bahkan mungkin bagi saya sendiri
yang adalah orang yang lahir dan hidup dalam “kesundaan” masih sulit untuk
dapat menerapkan bahasa secara tepat. dalam bahasa Sunda penggunaan kata saya
terdiri dari beberapa kata, salah satunya : abdi,
urang, aing, kuring, kaula (sering
digunakan dalam pewayangan)
Abdi,
sering digunakan dalam percakapan yang sopan baik diantara orang yang lebih
tua, atau setara (seumur) diantara teman. Dapat diartikan sebagai “hamba”. Jadi
ketika kata ini digunakan dapat diartikan “saya yang menghambakan diri.”
Urang,
digunakan dalam percakapan yang “menengah”. Tidak dapat dikatakan sebagai kata
yang kasar, atau pun kata yang halus/sopan. Urang juga dapat berarti jamak (dalam
bahasa Indonesia :kita/kami). Ketika digunakan dalam percakapan dapat diartikan
“saya yang menyetarakan diri dengan kawan/lawan bicara.”
Aing, digunakan
dalam percakapan yang “kasar”. Menunjuk pada ego dan hak milik. Sebagai contoh,
“hirup aing, kumaha aing” (hidup saya, bagaimana saya saja) atau “Persib nu
aing” (Persib milik saya). Menunjuk pada kuasa, kepemilikan ego terhadap segala
sesuatu, aing menunjuk pada
kesombongan bahwa sang ego berhak untuk melakukan apapun baik itu pada dirinya
atau pun pada orang lain.
Kuring,
menunjuk pada pribadi, sangat personal. Secara filosofis dalam filsafat
Sunda kuring menunjuk pada pencapaian
jati diri. Maka seperti sebelumnya, dalam pemaham Sunda, setiap manusia Sunda
dalam “pengulikan”-nya haruslah sampai kepada “kuring”. Dimana kuring terlepas
dari kurung, atau nafsu manusiawi
yang bersifat menghacurkan.
Ketika seseorang menemukan “kuring”-nya maka sampailah ia pada “hirup
anu lugina” (hidup yang bahagia-dalam tahap sementara). Karena kuring selalu bersifat personal maka
dalam pengaliannya pastilah bersifat eksistensial, eksistensial dalam arti ini
yaitu reflektif, dan mengarah pada pertimbangan kehidupan praktis. Tapi ingat,
ketika seorang Sunda menemukan kuring-nya
bukan berarti ia terpisah dari komunitas dimana ia hidup! Ia tetap menjadi
bagian yang terhubung satu dengan yang lainnya. Saat itulah saat dimana ia
terjun ke dalam masyarakat sebagai “abdi”
atau hamba bagi sesamanya. Sudah menjadi kepatutan bagi abdi, untuk mengamalkan pemahaman pada
komunitas, maka kuring-nya dengan
rendah hati harus mengabdikan diri pada masyarakat. upaya pengamalan ini yang
saya maksud sebagai relung epistemologis! Mengapa dikatakan epistemologis? Upaya
pengamalan pengetahuan itu haruslah dapat dijabarkan, dan dipertanggungjawabkan
sumber dan cara (mungkin dapat dikatakan metode) dalam dialog diantara
masyarakat. proses dialog inilah yang akhirnya menguji secara terus-menerus
bagaimana suatu pengetahuan itu terbentuk atau dalam bahasa yang sering kita sebut
“epistemologi”. Namun, epistemogi ini kembali saya tekankan tidaklah bermakna
seperti filsafat Barat. Tapi hanya sampai pada batas pengujian cara sumber
pengetahuan itu terbentuk/ada sejauh pemikiran Sunda itu tumbuh (“tumuwuh”) di tatar Pa-sunda-an. Jadi dalam
hemat saya, ketika kita kita mencoba memahi filsafat atau sederhananya pikiran
orang Sunda, kita perlu melihat orang Sunda dalam dimensi-dimensi personal yang
melekat padanya. Dalam waktu dan tempat yang berbeda dia adalah abdi, urang, aing, kuring atau kaula.
Sanggahan 2
Pemaknaan
personal yang diajukan Eka pun tampaknya tidak begitu jelas. Dia mengatakan ada
kegiatan mempelajari dan menalaah sebuah objek sampai mencapai kesatuan. Seolah
Eka ingin mengatakan bahwa sebelumnya ada jarak antara subjek dan objek dalam
usaha subjek memahami objek. Ini sepertinya khas cara berpikir barat yang
diusung oleh Hegel dan Kant. Hegel dan Kant pertama sekali selalu mengambil
jarak dengan sebuah objek dalam usaha memahaminya. Hasil akhirnya yang tinggal
adalah sebuah pengertian (understand) tentang objek itu. Pertanyaannya, apakah
betul cara berpikir Sunda yang timur itu seperti itu? Bukankah cara berpikir
timur selalu jatuh dalam sebuah asumsi kesatuan yang mutlak dan otomatis kepada
alam? Bukankah cara berpikir timur itu selalu menghindari cara berpikir
dikotomis khas barat? Saya pikir, Eka perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti ini. Jika tidak, maka tampaknya Eka hanya jatuh pada pembahasaan
filsafat barat dengan bahasa Sunda. Itu berakibat fatal pada identitas dari
filsafat Sunda itu sendiri.
Pendalaman personal di dalam proses
“pengulikan” disini yang saya maksudkan adalah adanya hubungan antara subjek
dan objek yang melampaui kaidah-kaidah kebahasaan, dimana sebelumnya bahasa
seolah menjadi pemisah antara subjek itu sendiri. Dalam hal ini, pikiran Sunda,
menyadari bahwa bahasa dalam sisi tertentu sangat berperan dalam proses
pertukan informasi, namun karena ini berhubungan dengan sesuatu yang melampaui
informasi, yaitu proses penemuan “kuring”
(jati anu ngajadi diri) maka bahasa dipandang
sebagai sesuatu batas, bukan jarak seperti pemahaman dalam teori Helegianisme
dan Kantianisme. Sehingga seperti yang sudah saya paparkan, orang Sunda
menyakini bahwa dibalik ilmu atau suatu pengetahuan ada tersimpan sesuatu yang
tidak bisa ditranfer begitu saja dari sang guru pada murid. Guru dipandang
bukanlah sebagai bank ilmu, dan murid sebagai wadah. Tapi hubungan Guru lebih
sebagai mediator dan pembimbing, sebagai orang yang jauh lebih dulu mengalami
dan menelaah, sedangkan murid dipandang sebagai sebuah benih, yang perlu untuk
dipelihara dan diarahkan hingga akhirnya menemukan dirinya, yang akhirnya juga
dapat menjadi seorang “guru” untuk kembali dapat menjadi mediator atau
pembimbing dalam suatu tatanan masyarakat. Kebersatuan dan keutuhan antara si “pengulik” dan apa yang “diulik” dianggap sebagai upaya yang harus digapai guna mencapai
keutuhan diri. Dalam pemahaman ini, ada unsur mistis yang sangat kuat dalam orang
Sunda dalam melihat kehidupan. Bagaimana keutuhan itu dapat digambarkan? Saya pun
masih perlu banyak belajar untuk menjelaskan hal ini. Namun demikian,
penjelasan saya ini kiranya dapat sedikit menjawab sanggahan dari bung Rinto
mengenai jarak antara subjek-objek seperti yang disanggahkan di atas.
Sanggahan 3
"Hirup
nu hirup" atau disebut hidup yang berkecukupan. Berkecukupan yang dimaksud
Eka adalah sebuah sikap tunduk pada Yang Ilahi. Artinya disini "hirup nu
hurip" itu harus selalu dipahami dalam arti teologis. Tapi sayang, Eka
tidak memberi konsep tentang Yang Ilahi. Tuhan yang seperti apa yang harus
dipahami untuk mencapai kecukupan? Tuhan yang ontologis khas teologi Amerika
Utara dan Eropa? Atau Tuhan mitologis yang muncul dari pemahaman tentang alam
khas berpikir timur? Sayang, Eka tidak mengatakan apapun untuk itu.
Secara jujur, saya tidak bisa atau
lebih tepatnya tidak ingin mengkategorikan apakah Tuhan yang dimaksud disini
sebagai Tuhan yang ontologis atau mitologis? Sejauh pengamatan saya yang sangat
minim, memang dalam upaya memahami konsep ketuhanan dalam pikiran Sunda secara “original”
menjadi sesuatu yang “agak” pelik. Mengapa demikian, orang sunda, memiliki ciri
khas pemikiran yang mampu menyerap suatu pandangan, ilmu, gagasan, sebagai “milik”-nya,
karena kata “sunda” itu sendiri dapat diartikan “ya” merujuk pada kata “pangersa”
diartikan sebagai ijin atau kuasa, dalam beberapa dialek sunda, dikatakan juga “leres
sun”, dalam bahasa modern dapat dikatakan “ya gan!” Hal ini membawa pikiran
sunda sebagai sebuah pikiran yang terus menerus berubah sepanjang zaman, sesuai
dengan konteks dimana ia berada. Adapun pandangan dan pikiran (termasuk agama)
itu tidaklah menjadi darah dan daging, melainkan hanya sebagai baju dan wadah
untuk menjalankan pemikirannya. Salah satu
contoh nyata dari hal ini dapat kita lihat cerita Kabayan (untuk selanjutnya
akan saya coba untuk mencuplik salah satu cerita kabayan, guna memperjelas
pemahaman kita untuk dapat mengerti pikiran sunda terhadap manusia). hal itu
pun sangat mempengaruhi konsepnya tentang Tuhan.
Adapun demikian, saya menemukan
unsur mistis yang sangat kental tentang ketuhanan dalam pikiran Sunda,
sekalipun mungkin pemikiran ini sudah tercampur dengan paham hinduisme, namun
kita masih dapat menemukan jejak-jejak pemikiran Sunda buhun/kuno. Dalam pemikiran
Sunda Tuhan dipandang sebagai sumber kuasa, atau sering disebut sebagai Sang Hyang Widi, widi adalah kata agung
yang mengantikan kata “pangersa” yang berarti ijin. Artinya segala sesuatu yang
terjadi di alam ini ada dalam ijin Tuhan (Sang Hyang Widi). Tuhan sebagai
sumber dari segala “pangersa” mengijinkan alam ini terbentuk, termasuk
ekosistem di dalamnya. Pada akhirnya segala di dalam “pengersanya” mengarahkan
seluruh ciptaannya termasuk manusia pada pengenalan pada Sang Hyang Widi
tersebut. Karena Sang Hyang Widi telah mengijinkan alam ini terbentuk maka
pancaran ilahinya atau pengersa itu sendiri itu pun tercurah pada ciptaannya. Oleh
karena itu setiap ciptaannya memiliki “pangersa” (ijin) untuk hidup. Ijin itu
melahirkan kehendak dan keinginan. Adapun demikian, bahwa ciptaannya tidaklah
sempurna, dan Sang Hyang Widi adalah sempurna. Bahwa ciptaannya suatu saat akan
mengalami kematian (sementara) sebagai suatu proses untuk kembali pada kehendak
yang ilahi (Sang Hyang Widi) maka perlu bagi ciptaannya, dalam hal ini manusia,
untuk betul-betul mengamati dan belajar tentang hidupnya. Dari mana ia
sepatutnya belajar? Tentulah dari apa yang sudah dinampakan oleh Sang Hyang
Widi, yaitu dari alam yang sudah ia ciptakan. Alam dipandang sebagai sumber
kehidupan dan juga sumber ilmu. Karenanya kata “hubungan” menjadi kata kunci
penting bagi orang Sunda dalam upaya memahami realitas. Hubungan itu berkaitan
dengan hubungan antar manusia (yang dibagi dalam beberapa tingkatan seperti :
orang tua – anak, pemimpin – rakyat, dst,), hubungan manusia dengan alam
(termasuk juga dengan yang gaib), hubungan dengan Sang Hyang Widi yang
dijembatani melalui penemuan “kuring” melalui pembelajaran dari alam.
Sanggahan 4
Dari
paparan yang demikian, sehingga tak salah jika saya memberi judul tulisan ini
adalah "Kebahagiaan tanpa Identitas". Tidak jelas Eka mau membawa
kemana kaluginaan yang dia maksud. Baiklah saya berikan contoh. Eka bilang
bahwa dalam filsafat Sunda, kebahagiaan didapat dari mempelajari kehidupan dan
tunduk pada Yang Ilahi. Katakanlah Kang Aan mempelajari kehidupan bahwa
membunuh itu benar dan itu perintah dari Yang Ilahi yang dipahaminya. Apakah
Kang Aan termasuk orang yang berbahagia? Tentu ini akan menjadi tugas yang
berat bagi Kang Aan dalam menjawab pertanyaan Jaksa Penuntun dihadapan Hakim.
Seperti yang saya jelaskan diatas,
bahwa orang sunda dapat memainkan perannya dalam beberapa dimensi (abdi, urang,
aing, kuring, kaula) dimana “hubungan” adalah kata kunci untuk memahami pikiran
Sunda. Ketika seseorang menemukan “kuring”-nya. Tentulah ia tidak memandang
dirinya sebagai seseorang yang sudah penuh dengan ilmu sehingga tidak
membutuhkan orang lain, atau seorang yang cukup berpuas diri dan tidak
melakukan apa-apa. Sebaliknya ia hadir di tengah masyarakat, untuk merendahkan
diri, dimana “kuring”-nya di-abdi-kan melalui pengalamalan dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini terjadilah dialog yang dapat membawa
setiap orang Sunda pada proses pengujian kebenaran. Disinilah “kuring” sang
guru kembali diuji oleh “kuring” guru yang lainnya, atau mungkin dipertanyakan
kembali oleh sang murid (karena guru bukanlah yang selalu benar). Pada proses
dialog dimana “kuring” berdialog dengan “kuring” yang lainnya disitulah terjadi
proses penyatuan dan penghayatan hidup dimana setiap orang dapat
merasakan/berbagi kalugiaan. Sehingga kalugianaan itu bukan lagi kaluginaan personal,
tetapi menjadi kaluginaan yang dipahami secara kolektif dalam suatu tatanan
masyarakat. kalugianaan ini pun membawa setiap orang pada pehaman dan kesadaran
atas hidup sebagai sesuatu yang harus terus dipelihara dengan tanggung jawab
dan perlu untuk terus dikaji dan dipelajari bersama. Namun kembali saya
tekankan, kalugianaan ini bukanlah “berpuas diri”, tapi sebuah rasa syukur,
penerimaan diri dan pengendalian diri. Rasa syukur untuk sebuah kehidupan dan
pengertian yang didapat hari ini, dan pengendalian diri untuk terus mau “ngulik”
hirup dari rentetan-rentetan dan hiruk pikuk sejarah manusia yang terus
bergulir. Sekembalinya jati diri pada
yang ilahi, diharapkan, jati diri itu
adalah dalam kondisi yang murni sesuai dengan “pangersa” sang kuasa. Dengan demikian
sudah menjadi panggilan hidup bagi setiap manusia sunda untuk menyadari bahwa
dirinya adalah seorang pembelajar, dimana pembelajaran dipelajari
sedalam-dalamnya, terbuka, dan rela untuk kembali mengevaluasi pandangannya
sebagai usaha pengalaman dan bakti terhadap masyarakat dimana ia hidup. Oleh karena itu identitas dari kalugianaan itu terbentuk dari hubungan-hubungan antara si pengulik dengan yang diulik, antara manusia dengan alam, antara manusia-dengan manusia, dan antara manusia dengan sang pencipta secara berkesinambungan.
Tentu saja masih banyak pikiran
Sunda yang perlu saya jabarkan. Bahkan tulisan ini pun masih sangat terbuka
untuk dikoreksi dan dikritisi kembali. Hal ini mendorong saya untuk terus
mempelajari bagaimana filsafat Sunda itu, terutama mengenai konsep tentang
teologi, antropologi orang Sunda yang belum tergambar secara utuh dalam tulisan
ini? Menjadi hasrat saya untuk mendalami dan mencoba untuk mengamalkan “pikiran”
Sunda di tengah pemikiran-pemikiran lain sebagai upaya untuk memberikan
sumbangih atas keragaman pemikiran dan pergerakan filsafat di Indonesia.
Keren euy.
BalasHapusBiar lebih mantap, coba deh pertopik nulisnya Kang. Biar ga terjadi seperti kebingunganku.
Coba mulai dr antropologi atau paham tentang Yang Ilahi.
baik bro. sedang saya upayakan. seperti yang sempat saya katakan, memang riset utk hal ini agak pelik, mengigat ada beberapa kesukaran yang saya alami, diantara nya masalah sumber, meningat ada perbedaan2 antara sumber literatur, dan wawancara dan dialog dengan tokoh sunda. Nanti saya coba untuk lebih terkonsentari pada satu topik bahasan. Nuhun bro. kiranya semangat utk selalu belajar n berbagi selalu mengalir pada darah kita bro. haha
BalasHapus