Senin, 15 Juni 2015

Senja bagi "mereka" dan fajar bagi "nya"

"ketakutan sama sekali tak layak untuk disembah.
pengabdian adalah jalan sederhana untuk sebuah penyembahan.
Tak mau ku pilih jalan itu, bukan karena aku tak suka aturan,
atau kepatuhan. aku hanya lebih suka bertanya untuk hal-hal yang
memang belum ku mengerti.
bila kepatuhan, atau kah aturan, menahanku untuk mencari jawab,
untuk apa yang aku resahkan, maka siapakah aku ini?
Jika kita hanya menyembah karena takut,
maka wajarlah aku berkata siapakah kita kita ini?
Juga siapakah "dewa" yang selama ini kita sembah itu?
Siapa juga yang menafsirkan "dewa" itu hingga ia layak membuat aturan
ini itu tentang bagaimana kita harus beriman?
Siapakah kita Ayah? aku menyelasali, bahwa betapa banyaknya
amal yang selama ini kau buat, rupanya, bukan karena tulus engkau
mengabdi, hanya takut. Takut pada "tafsiran" tentang dewa kita itu?
Takut pada aturan yang dibukukan dan dikultuskan!?
Jika begitu kita selama ini, telah mendewakan penafsir itu,
dan telah menghina dewa kita sendiri bukan?!"


Begitulah kata anak laki-laki itu pada ayahnya. 

Tak sepatah katapun mereka dapat jelaskan. 
Hanya kemarahan dan pengusiran yang diterima anak itu.
Ia pergi meninggalkan mereka, pergi mengembara mencari jawab atas pertanyaan-
pertanyaannya, dan menjadi sahabat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar