Senin, 25 Agustus 2014
Mahasiswa Priyayi...
Coretan ini berangkat dari recehan-recehan yang ku pungut satu persatu dan ku kumpulkan menjadi sebuah bahasa hati. Bahasa hati untuk apa yang sedang terjadi, bahasa untuk sebuah kepedulian atas kelalaian dan kelenggahan, bahasa hati untuk sebuah risalah yang mungkin sebagian besar dihiraukan orang. Risalah tentang siapa dan bagaimana? Tentang bagaimana kita selayaknya membentuk identitas kita! Sebuah keresahan yang ku istilahkan sebagai “mahasiswa priyayi”. Apa dan bagaimana itu?
Pasar modern yang kita cicipi nikmatnya ini, kini telah menjadi “candu” atas pola pikir dan cara kita bersikap. Sadar atau pun tidak kita digiring pada sebuah mindset pasar global, yang mengedepankan profesionalisme, individualisme, konsumerisme, dan pragmatisme. Pasar modern dengan berbagai macam iklannya mengajarkan pada kita bahwa hidup pernuh dengan kompetisi dimana kita harus serba cepat, harus mampu menjadi yang terbaik dari yang terbaik (best of the best!). Tidak salah memang kita sebagai manusia perlu mengupayakan diri sebaik mungkin untuk menjadi yang terbaik! Bahkan ini adalah kewajiban setiap manusia. Tapi coba kita pikirkan sejenak. Apa itu menjadi baik? Apa tolak ukurnya menjadi yang terbaik dari yang terbaik? Biar kita jawab sendiri-sendiri.
Umumnya yang sering didengungkan di lapangan tempat kita bermain, tempat kita belajar, tempat kita bekerja, menjadi yang terbaik dari yang terbaik itu mengacu pada orientasi materil sesuai dengan pola pikir dunia modern yang cenderung kapitalis! Dengung itu begitu keras memengaruhi pikiran kita, sehingga kita tidak sempat mempertanyakan lagi esensi dari kebaikan itu sendiri. Kita begitu sibuk berlomba tanpa memahami makna. Tanpa kita sadari kita mengejar apa yang bukan menjadi “suara batin” kita gumamkan, kita sebenarnya mengikuti sebuah “iklan”. “Iklan” yang mendoktrin kita menjadi “pekerja” dan “budak” pasar. Hal ini jelas terlihat dalam pola masyarakat urban yang serba cepat tanggap dalam menghadapi tantangan ekonomi-sosio-politik yang ditandai bermunculannya manusia-manusia terdidik, manusia kaya, manusia “jaya” yang justru mengalami kemandekan! Di sisi lain manusia itu terdidik, kaya bahkan Berjaya, tapi ironisnya manusia itu sangat rentan dan rapuh oleh tekanan dan tingkat stress yang sangat tinggi. Berapa banyak orang yang dapat dikatakan “sukses” mati bunuh diri? Berapa banyak insinyur-insinyur depresi? Berapa banyak mahasiswa yang konon katanya berprestasi mandek dan putus asa?
Lalu bagi kita yang memang masih “merangkak” dan “merayap” ini, tentu kita perlu memikirkan hal-hal di atas. Jangan-jangan sekarang kita tengah berlomba untuk sebuah kemandekan? Kita perlu memikirkan kembali kepada apa dan bagaimana seharusnya kita. Kalau boleh dikatakan sebagai seorang pelajar atau mahasiswa kita perlu bertanya pada diri kita, pelajar/mahasiswa macam apakah kita? Apakah kita menganggap diri kita pelajar/mahasiswa oleh karena memang batin kita meyakini demikian, atau kah itu hanya sebutan pasar untuk menggolong kelas dan strata kita berada. Dimana kalau pelajar, dapat ongkos setengah harga kalau naik bis, diskon kalau beli buku, dst… Tentu ini menjadi sangat lucu dan kocak, betapa tidak kata mahasiswa itu hanya merujuk pada orang (muda) yang belum bekerja (belum mencapai kesuksesan materil) yang perlu mendapatkan subsidi..? itukah? Tentu tidak!
Seyogyanya seorang mahasiswa adalah seorang yang terdidik, dan juga sedang dididik untuk menjadi manusia yang utuh yang kemudian akan hadir di tengah masyarakat sebagai seorang pendidik. Pendidik untuk memanusiakan manusia. Artinya seorang mahasiswa adalah seseorang yang kritis dan peka terhadap gejala-gejala dan fenomena-fenomena yang terjadi di dalam lingkungan dan masyarakatnya untuk menjawab setiap problematika yang dihadapinya. Hal ini menjadi samar ketika hal itu sudah terlupakan dan digeser oleh mindset pasar global yang menekankan individualitas dan formalitas. Nilai disecarik kertas itulah harga diri seorang mahasiswa. Orientasi pendidikan kita berkutat di angka dan nilai tanpa pernah menyentuh kehidupan riil di lapangan. Di lapangan secarik kertas itu pun sangat berarti untuk melamar sebuah pekerjaan. Ironis memang, angka dan nilai rupanya hanya untuk sebuah alat untuk mendapatkan sebuah penghidupan.
Apa artinya menjadi seorang mahasiswa semacam ini? Inilah yang ku sebut sebagai “mahasiswa priyayi”. Layaknya jaman kompeni. Sebagian dari orang-orang kita diangkat harkat dan martabatnya seolah-oleh lebih tinggi dari saudara sebangsanya. Mereka disekolahkan, mereka diberi keju dan roti, mereka diberi pakaian, jas dan gaun agar mereka menjadi budak dalam kepandaian mereka. Agar mereka menjadi tuan atas saudara sebangsanya. Agar mereka menjadi alat untuk menggerogoti ibu pertiwi, agar mereka menjadi alat penghisap atas saudaranya sendiri. Agar mereka menjadi alat yang ampuh untuk memperkaya si penjajah. Agar penjajah tak harus susah-susah mengambil apa yang ada pada kita.
Mahasiswa priyayi adalah mereka yang buta. Mereka yang hanya mementingkan angka dalam kertas semata. Mereka yang lupa pada suara batin mereka sendiri. Mereka yang telah merelakan kesadaran mereka hanya untuk sebuah iklan, sebuah janji dan promosi dari kapitalisme modern. Mereka yang lupa pada sesama. Mereka yang mengabaikan welas asih demi sebuah ego. Mereka yang berusaha kaya, tapi akan tetap miskin untuk selamanya. Kerena kemiskinan mereka melakat pada batin dan hati nurani yang miskin. Ku rasa, tak perlu diuraikan lagi bagaimana itu sekarang, karena kamu, aku, ya.. kita menyaksikan itu dari waktu ke waktu.
Saudaraku, marilah kita bangkit! Marilah kita lekas bangun dari tipuan dan rayuan sang penjajah dunia. Kita memang sederhana, tapi kita peduli! Karena kita peduli marilah kita kumandangkan bahwa kita pun Indonesia adalah bangsa yang setara dengan mereka! Tak perlu kita agungkan kepriyayian yang kosong itu. Kita buang jauh-jauh. Dan marilah kita tengok kiri dan kanan kita, dan hiduplah bagi mereka yang ada di kiri dan kanan kita dengan penuh cinta. Aku yakin, dan selalu yakin, bahwa kita bukan bagian dari kepriyayian semacam itu, kita tidak mau ada disitu, kita tidak hidup untuk itu. Jangan lengah! Jangan lalai!
Semoga recehan ini, menjadi recehan yang menyapa kita semua, layaknya sebuah recehan yang digunakan di telepon umum. Receh memang, tapi receh itu bercerita tentang sebuah rindu, rindu tentang kabarmu dan kabarku, yang menjadi doa untuk setiap perjuangan kita!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar