Senin, 15 Juni 2015

Puisi Untuk nya


Di dalam diam, dia bergumam..
Di pojok rindu, dia terbelenggu..
Di dalam sapa, dia berpura-pura..
Di pelupuk maya, dia menahan warna.
Bilakah ia berubah, mungkin waktu pun sudah berubah.
Bilakah ia tahu, mungkin semua nya semua sudah berlalu.
waktu yang mengijinkan kita untuk segalanya.

2. Daun dan Para Peneliti


Entah kemana ia pergi. Ia pergi hanya berdasarkan laju angin. Angin membawanya pergi jauh, meninggalkan pohon, meninggalkan taman. Sejenak Daun merasa kehilangan. Sejenak Daun merasa sepi. Namun sepi itu terganti ketika ia terbang melihat awan-awan, dan kelok-kelok jalan yang begitu indah. Tak tahu ia akan berhenti dimana, Dia hanya menikmati apa yang ada di hadapannya kini. Ia tidak punya tujuan, hanya ada kepasrahan dan keingintahuan.

Usai sudah angin membawanya pergi ke sana kemari. Kini ia berhenti disebuah batu. Batu yang cukup untuk jadi tempat berkumpul segala makhluk. Daun itu terdiam, namun pandangannya luas, menyapu bersih apa yang ada di sekitarnya. di batu itu dilihatnya semut sedang berduyun-duyun, ada pula jangkrik, kumbang, kupu-kupu, rumput liar, dan makhluk-makhluk kecil lainnya.

Tak sempat mereka becerita, adalah segerombolan manusia, mereka menyebut diri mereka "peneliti". Mereka itulah yang mengganggap diri merasa sanggup menalar dunia dengan otak mereka. Ya para Peneliti itu percaya, bahwa segala sesuatu ada untuk mereka. Untuk mereka ketahui, untuk mereka kuasai, dan untuk kepentingan mereka. Sekalipun demikian, mereka selalu berkata pada manusia lainnya, bahwa mereka meneliti bukanlah untuk mereka sendiri, melainkan untuk ilmu pengetahuan! Begitulah mereka memakai alasan lain yang mungkin dapat menyembunyikan ego mereka.

Ketika para Peneliti itu tiba di Batu besar itu, dilihatnyalah ada begitu banyak makluk kecil. Mereka berkata satu dengan lainnya dengan bahasa-bahasa mulia, itulah apa yang disebut kebanyakan orang dengan "syukur". Mereka memuji segala yang ada di batu itu. Termasuk memuji Daun, kumbang, kupu-kupu dan rumput liar. Mereka menyembunyikan hasrat mereka dengan kata-kata mulia untuk mengelabui makhluk-makhluk kecil itu.

Daun, Kumbang, Kupu-kupu dan Rumput Liar begitu senang dengan kata-kata para Peneliti itu. Tak perlu banyak waktu bagi manusia itu untuk menaklukan makhluk-makhluk kecil itu. Maka tanpa harus meminta, makhluk-makhluk kecil itu pun merelakan dirinya untuk "diteliti" oleh sekumpulan manusia itu. Kumbang dan kupu-kupu di masukan dalam toples kaca, rumput liar dimasukan dalam sebuah kotak kecil bersama Daun, dicabut dari batu tempat ia berakar. Begitulah mereka di bawa manusia itu menuju sebuah Lab. Begitulah mereka menyerahkan dirinya pada manusia, karena mereka percaya apa yang mereka perbuat adalah sesuatu yang mulia. Mereka percaya pada kata-kata manusia.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Biar mereka yang bicara!

Identitas Kemerdekaan Kita…


Perjalanan saya mengatar teman dari desa, kabupaten Bandung menuju kota Bandung kali ini menginspirasi saya untuk berpikir dan menyelami identitas kemerdekaan kita. Yang mengherankan saya, ketika saya melalui jalanan di kabupaten jalan tampak macet dan padat oleh karena hampir seluruh masyarat desa turun ke jalan untuk merayakan HUT RI yang 69 ini. Ya namanya juga di desa, semua perlengkapan perayaan itu dibuat seadanya , dari barang-barang yang barangkali sudah jadi rongsok, kemudian disulap oleh kreatifitas jadilah pernak-pernik bernuansa perjuangan kemerdekaan. Dari mulai gerobak yang disulap jadi meriam, becak jadi tank, bambu jadi senapan, juga ada orang-orang yang jadi actor dadakan dengan acting mereka yang seadanya. Ada yang jadi prajurit, petani, orang pincang yang masih berjuang untuk kemerdekaan, orang-orang yang disiksa oleh penjajah namun tetap gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan dan lain seterusnya..

Semuanya masih tampak biasa, karena memang penekanan kemerdekaan kita cenderung dimaknai sebagai sebuah perjuangan melawan penjajah. Dengan kata lain kemerdekaan kita itu adalah hasil perlawanan terdahadap penjajah. Hingga ditengah barisan dan kerumunan saya melihat peragaan ibu hamil yang sedang kepayahan melahirkan dengan kondisi kritis dengan banyak labu darah bergelantungan di atas tempat tidur dorongnya. Ibu itu berjuang untuk sekuat tenaga bertahan dari kondisi kritisnya tersebut untuk melahirkan anak yang dikandungnya. “Beuh” ibu-ibu juga rupaya berjuang rupanya untuk kemerdekaan kita?” Kata saya dalam hati.

Kemerdekaan macam apa yang ibu ini perjuangkan? Bagi saya peragaan ibu yang tengah melahirkan ini mengingatkan kita pada makna kemerdekaan yang mungkin saat ini kita sering abaikan.
Di tengah maraknya isu terorisme, radikalisme agama, fanatisme suku dan lain sebagainya kita diperkenalkan dengan senjata dan kekerasan. Sosialiasi kekerasan sekarang ini sudah menjadi cerminan terhadap nilai dan pola-pola sosial masyarakat kita. Bahkan kekerasan disinonimkan dengan perjuangan! Seringkali langkah demokrasi kita pun gagal ditempuh oleh karena adanya kubu yang merasa keberatan dengan suatu keputusan, kemudian akhirnya menyebabkan terjadinya kekerasan dan kerusuhan yang akhirnya menyebabkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita kurang stabil. Ironisnya ketegasan bangsa hanya diukur dari militer dan persenjataan yang dimiliki. Ketegasan hanya diukur dari berapa banyak penjahat entahkah itu koruptor, teroris, pembunuh, penipu dll dijebloskan ke penjara. Ketegasan dan kekuatan bangsa hanya diukur dengan apa yang bangsa itu miliki secara fisik, dari apa yang nampak. Kekuatan bangsa hanya diukur apakah bangsa itu sudah punya nuklir atau belum. Pertanyaan saya, apakah kemerdekaan kita selama kurang lebih 69 tahun ini hanya sebatas itu? Dan apakah kita telah sungguh merdeka? Maksud saya, apakah iklan semacam di atas tidak membuktikan bahwa sebenarnya kita telah digiring dalam penjajahan era baru yang lebih canggih dari penjajahan kita dulu oleh Belanda dan Jepang selama 350 tahun plus 3,5 tahun?

Senjata dan Lomba itulah umumnya yang hari ini kita lihat dalam perayaan HUT RI yang ke 69 ini. Mengapa kita bersenjata? Jawabannya jelas, karena kita tengah berlomba. Tidak perlu jauh-jauh kita sebagai individu tengah berlomba untuk bertahan hidup, bertahan untuk tidak tersingkir, dan kalau ada kesempatan kenapa tidak jadi yang terbaik, yang tersukses, yang terjaya. Begitupun kita sebagai suatu bangsa tengah berlomba dengan bangsa-bangsa lain untuk membuktikan bahwa kita bisa bertahan, berjuang untuk menjadi bangsa terbaik diantara bangsa-bangsa lain. Maka kita menemukan bahwa “angkat senjata” adalah hal yang wajar dilakukan saat ini. Wajar pula bila kita mengeliminasi perserta lomba yang lain dengan senjata kita, wajar pula bisa kita angkat senjata pada siapapun yang kita rasa mengancam posisi kita.

Senjata yang dimaksud bukan senjata fisik seperti pistol dan meriam, tapi dalam cakupan yang lebih luas seperti misalnya isu politik, isu agama, propaganda, bahkan iklan dan trend zaman sekarang dapat juga dikatakan sebagai sebuah senjata yang lebih canggih dari senjata semacam pistol dan meriam. Siapa punya senjata dialah yang merdeka. Siapa yang punya senjata yang jauh lebih canggih dialah penguasa dunia. Juga sebaliknya siapa tidak bersenjata hanya akan terjajah, atau menjadi “jongos”/babunya si penjajah. Sadar atau pun tidak kita digiring pada mindset seperti ini.

Perjuangan ibu yang tengah melahirkan dalam kondisi kritis dengan labu-labu darah bergelantungan di atas tempatnya berbaring memberikan perspektif yang jauh berbeda tentang kemerdekaan. Perjuangannya memberikan perspektif lain bagaimana melihat dan menyelami kemerdekaan . Bahwa kemerdekaan sejatinya adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk memilih terus berjuang dari pada menyerah. Berjuang sekali pun dalam kondisi yang paling terpuruk dan paling kritis. Berjuang bukan untuk kepentingan dan ego diri sendiri, melainkan berjuang untuk sebuah kehidupan yang baru. Berjuang untuk sebuah cinta dan harapan. Tidak peduli seberapa keras, tak peduli seberapa sakit, tidak peduli seberapa luka dan darah yang sudah dikorbankan, seorang ibu akan terus berjuang, bukan berjuang untuk memusnaskan, bukan untuk mengeliminasi, bukan untuk membunuh, tapi berjuang untuk sebuah kehidupan bagi generasi baru. Disitulah sebuah harapan ditumpukan, disitulah cinta dan kasih sayang tumbuh menjadi pupuk yang baik untuk memulai sebuah kehidupan! Kemerdekaan itu bukan hanya “angkat senjata” hanya demi sebuah perlombaan hidup, jauh dari itu, kemerdekaan itu adalah sebuah harapan, bahwa akan ada hidup yang jauh lebih baik, jauh lebih harmonis, jauh lebih damai, jauh lebih indah. Kemerdekaan adalah sebuah cinta bahwa tak akan ada lagi tangis kelaparan dan kemiskinan, karena kita saling berbagi dan memberi, bahwa akan ada dunia dimana kita bisa hidup bersama, berdampingan, bergandengan tangan dan saling melengkapi, tanpa melihat suku, agama, warna kulit, dan apapun perbedaan diantara kita.

Karenanya kita patut mengingat, bahwa identitas kemerdekaan kita seyogyanya bukanlah oleh senjata, bukan "angkat senjata!" melainkan oleh sebuah harapan dan kasih sayang. Karenanya marilah kita jangan sia-siakan perjuangan mereka yang sudah menitipkan harapan dan kasing sayang pada kita. Marilah kita buat ibu pertiwi yang telah berjuang melahirkan kita menjadi manusia yang merdeka bangga atas harapannya.
Akhirnya saudaraku marilah kita tanamkan welas asih tanpa batas untuk negeri ini. Salam kanyaah ti sim kuring.

Bandung, 17 Agustus 2014