Perjalanan saya mengatar teman dari desa, kabupaten Bandung menuju
kota Bandung kali ini menginspirasi saya untuk berpikir dan menyelami
identitas kemerdekaan kita. Yang mengherankan saya, ketika saya melalui
jalanan di kabupaten jalan tampak macet dan padat oleh karena hampir
seluruh masyarat desa turun ke jalan untuk merayakan HUT RI yang 69 ini.
Ya namanya juga di desa, semua perlengkapan perayaan itu dibuat
seadanya , dari barang-barang yang barangkali sudah jadi rongsok,
kemudian disulap oleh kreatifitas jadilah pernak-pernik bernuansa
perjuangan kemerdekaan. Dari mulai gerobak yang disulap jadi meriam,
becak jadi tank, bambu jadi senapan, juga ada orang-orang yang jadi
actor dadakan dengan acting mereka yang seadanya. Ada yang jadi
prajurit, petani, orang pincang yang masih berjuang untuk kemerdekaan,
orang-orang yang disiksa oleh penjajah namun tetap gigih dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan lain seterusnya..
Semuanya masih
tampak biasa, karena memang penekanan kemerdekaan kita cenderung
dimaknai sebagai sebuah perjuangan melawan penjajah. Dengan kata lain
kemerdekaan kita itu adalah hasil perlawanan terdahadap penjajah. Hingga
ditengah barisan dan kerumunan saya melihat peragaan ibu hamil yang sedang kepayahan melahirkan dengan kondisi kritis dengan banyak
labu darah bergelantungan di atas tempat tidur dorongnya. Ibu itu
berjuang untuk sekuat tenaga bertahan dari kondisi kritisnya tersebut
untuk melahirkan anak yang dikandungnya. “Beuh” ibu-ibu juga rupaya
berjuang rupanya untuk kemerdekaan kita?” Kata saya dalam hati.
Kemerdekaan macam apa yang ibu ini perjuangkan? Bagi saya peragaan ibu
yang tengah melahirkan ini mengingatkan kita pada makna kemerdekaan yang
mungkin saat ini kita sering abaikan.
Di tengah maraknya isu
terorisme, radikalisme agama, fanatisme suku dan lain sebagainya kita
diperkenalkan dengan senjata dan kekerasan. Sosialiasi kekerasan
sekarang ini sudah menjadi cerminan terhadap nilai dan pola-pola sosial
masyarakat kita. Bahkan kekerasan disinonimkan dengan perjuangan!
Seringkali langkah demokrasi kita pun gagal ditempuh oleh karena adanya
kubu yang merasa keberatan dengan suatu keputusan, kemudian akhirnya
menyebabkan terjadinya kekerasan dan kerusuhan yang akhirnya menyebabkan
kehidupan berbangsa dan bernegara kita kurang stabil. Ironisnya
ketegasan bangsa hanya diukur dari militer dan persenjataan yang
dimiliki. Ketegasan hanya diukur dari berapa banyak penjahat entahkah
itu koruptor, teroris, pembunuh, penipu dll dijebloskan ke penjara.
Ketegasan dan kekuatan bangsa hanya diukur dengan apa yang bangsa itu
miliki secara fisik, dari apa yang nampak. Kekuatan bangsa hanya diukur
apakah bangsa itu sudah punya nuklir atau belum. Pertanyaan saya, apakah
kemerdekaan kita selama kurang lebih 69 tahun ini hanya sebatas itu?
Dan apakah kita telah sungguh merdeka? Maksud saya, apakah iklan semacam
di atas tidak membuktikan bahwa sebenarnya kita telah digiring dalam
penjajahan era baru yang lebih canggih dari penjajahan kita dulu oleh
Belanda dan Jepang selama 350 tahun plus 3,5 tahun?
Senjata dan
Lomba itulah umumnya yang hari ini kita lihat dalam perayaan HUT RI yang ke
69 ini. Mengapa kita bersenjata? Jawabannya jelas, karena kita tengah
berlomba. Tidak perlu jauh-jauh kita sebagai individu tengah berlomba
untuk bertahan hidup, bertahan untuk tidak tersingkir, dan kalau ada
kesempatan kenapa tidak jadi yang terbaik, yang tersukses, yang terjaya.
Begitupun kita sebagai suatu bangsa tengah berlomba dengan
bangsa-bangsa lain untuk membuktikan bahwa kita bisa bertahan, berjuang
untuk menjadi bangsa terbaik diantara bangsa-bangsa lain. Maka kita
menemukan bahwa “angkat senjata” adalah hal yang wajar dilakukan saat
ini. Wajar pula bila kita mengeliminasi perserta lomba yang lain dengan
senjata kita, wajar pula bisa kita angkat senjata pada siapapun yang
kita rasa mengancam posisi kita.
Senjata yang dimaksud bukan
senjata fisik seperti pistol dan meriam, tapi dalam cakupan yang lebih
luas seperti misalnya isu politik, isu agama, propaganda, bahkan iklan
dan trend zaman sekarang dapat juga dikatakan sebagai sebuah senjata
yang lebih canggih dari senjata semacam pistol dan meriam. Siapa punya
senjata dialah yang merdeka. Siapa yang punya senjata yang jauh lebih
canggih dialah penguasa dunia. Juga sebaliknya siapa tidak bersenjata
hanya akan terjajah, atau menjadi “jongos”/babunya si penjajah. Sadar
atau pun tidak kita digiring pada mindset seperti ini.
Perjuangan
ibu yang tengah melahirkan dalam kondisi kritis dengan labu-labu darah
bergelantungan di atas tempatnya berbaring memberikan perspektif yang
jauh berbeda tentang kemerdekaan. Perjuangannya memberikan perspektif
lain bagaimana melihat dan menyelami kemerdekaan . Bahwa kemerdekaan
sejatinya adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk memilih terus berjuang
dari pada menyerah. Berjuang sekali pun dalam kondisi yang paling
terpuruk dan paling kritis. Berjuang bukan untuk kepentingan dan ego
diri sendiri, melainkan berjuang untuk sebuah kehidupan yang baru.
Berjuang untuk sebuah cinta dan harapan. Tidak peduli seberapa keras,
tak peduli seberapa sakit, tidak peduli seberapa luka dan darah yang
sudah dikorbankan, seorang ibu akan terus berjuang, bukan berjuang untuk
memusnaskan, bukan untuk mengeliminasi, bukan untuk membunuh, tapi
berjuang untuk sebuah kehidupan bagi generasi baru. Disitulah sebuah
harapan ditumpukan, disitulah cinta dan kasih sayang tumbuh menjadi
pupuk yang baik untuk memulai sebuah kehidupan! Kemerdekaan itu bukan
hanya “angkat senjata” hanya demi sebuah perlombaan hidup, jauh dari
itu, kemerdekaan itu adalah sebuah harapan, bahwa akan ada hidup yang
jauh lebih baik, jauh lebih harmonis, jauh lebih damai, jauh lebih
indah. Kemerdekaan adalah sebuah cinta bahwa tak akan ada lagi tangis
kelaparan dan kemiskinan, karena kita saling berbagi dan memberi, bahwa
akan ada dunia dimana kita bisa hidup bersama, berdampingan,
bergandengan tangan dan saling melengkapi, tanpa melihat suku, agama,
warna kulit, dan apapun perbedaan diantara kita.
Karenanya kita
patut mengingat, bahwa identitas kemerdekaan kita seyogyanya bukanlah
oleh senjata, bukan "angkat senjata!" melainkan oleh sebuah harapan dan kasih sayang. Karenanya
marilah kita jangan sia-siakan perjuangan mereka yang sudah menitipkan
harapan dan kasing sayang pada kita. Marilah kita buat ibu pertiwi yang
telah berjuang melahirkan kita menjadi manusia yang merdeka bangga atas
harapannya.
Akhirnya saudaraku marilah kita tanamkan welas asih tanpa batas untuk negeri ini. Salam kanyaah ti sim kuring.
Bandung, 17 Agustus 2014